Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Childfree di Tengah Perbedaan Cara Berpikir Masyarakat Modern dan Tradisional

9 Februari 2023   06:18 Diperbarui: 13 Februari 2023   15:45 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Childfree di tengah perbedaan cara berpikir masyarakat modern dan tradisional | Ilustrasi dokumen pribadi oleh: Inosensius I. Sigaze.

2. Resesi global dan pertimbangan masa depan

Sangat konkret dan terasa sekali bahwa resesi global yang sedang menerpa Eropa bukan saja soal dampaknya yang akan menjadikan pilihan dan keputusan pasangan muda menjadi lebih hati-hati, tetapi juga bahwa fokus pada dunia kerja akan menjadi lebih tinggi daripada fokus pada memperoleh anak.

Apa artinya punya anak, jika saja pendapatan keluarga mereka tidak mencukupi untuk kehidupan mereka sendiri. Hitungan mempunyai anak, bukan saja berhenti pada rasa syukur karena anak itu adalah anugerah Tuhan, tetapi lebih dari itu soal biaya dan bagaimana masa depannya.

Saya mengenal seorang Indonesia yang punya suami sangat mapan bekerja. Program punya anak malah pada saat Covid-19 kemarin. Katanya, mendingan pada saat covid-19, karena belum ada kemungkinan untuk bekerja atau lebih banyak di rumah, jadi mudah dong ngurusin anak.

Nah, bagaimana dengan pasangan yang pendapatan bulanan mereka pas-pasan saja. Tentu mereka gak berani punya keputusan punya anak.

Lagi-lagi hitungan waktu kerja dan waktu untuk punya anak itu dihubungkan dengan kesanggupan ekonomi keluarga. Dibalik kenyataan ini sebenarnya ada hal yang harus ditulis dengan huruf besar, yakni tanggung jawab.

Punya anak itu bukan saja soal kesadaran spiritual seperti anak itu karunia Tuhan atau anak itu rezeki, tetapi lebih dari itu dari sisi lain terkait bagaimana tanggung jawab orangtua terhadap anak itu sendiri, baik itu pendidikan dan masa depannya.

Berbeda tentunya dengan masyarakat tradisional yang kalau mau bilang imannya kuat juga gak enak. Melahirkan anak dulu baru mikir, "nanti gimana ya?"

Punya anak bagi mereka itu terlalu mudah karena tidak ada konsep tentang besarnya tanggung jawab kalau punya anak. Ada yang mengatakan seperti ini, "Jika Tuhan memberi anak, maka Tuhan akan merawat dan membesarkannya."

Kok Tuhan yang dipertaruhkan? Cara berpikir seperti itu tentu saja tidak pernah ada rasa takut apapun dengan yang namanya resesi dan dampaknya bagi keluarga.

Saya mau mengatakan bahwa childfree itu bisa saja karena faktor alami dan bisa saja berbeda-beda sesuai cara berpikir dan budaya kehidupan manusia, di mana dia hidup.

3. Childfree dalam konteks masyarakat tradisional

Masyarakat Flores umumnya, dan khususnya masyarakat suku Paumere di mana saya berasal adalah sampel dari ulasan ini. Masyarakat suku bisa melihat tema childfree mungkin tidak relevan, karena mereka masih hidup dalam konsep dengan logika, "Jika pasangan hidup baru membangun keluarga, maka otomatis mereka harus punya anak."

Sangat jarang ditemukan pasangan keluarga di Flores, NTT yang tidak punya keturunan. Meskipun demikian, saya pernah berjumpa dengan beberapa pasangan di wilayah Kabupaten Ende yang mendiami wilayah tertentu, anehnya pasangan muda, tapi tidak punya anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun