NKRI tidak bisa dihitung sebagai satu keutuhan, jika tanpa kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) | Ino Sigaze.
Gema dan gelora perayaan 100 tahun NU sudah terdengar sampai ke pelosok dunia. Satu abad hadir di Indonesia bukan lagi usia yang muda kalau ibarat usia manusia.Â
Usia senja itu memberikan pengertian tentang banyak hal, bukan saja soal sejarah hidupnya, tetapi juga soal peran bagi Indonesia tentu saja sangat sentral.
Secara matematis sudah dapat dilihat bahwa NU termasuk salah satu organisasi Islam yang muncul 22 tahun sebelum Indonesia merdeka. Dalam hal ini, sudah bisa diketahui bahwa tokoh-tokoh muslim awal itu adalah orang-orang yang berperan sangat penting bagi bangsa ini.
Patut disebut di sini nama pendirinya Kyai Haji Hasyim Asy'ari. NU didirikan pada tahun 1926. Sampai dengan saat ini NU diakui sebagai organisasi Islam non-pemerintah yang terbesar di dunia karena memiliki anggota sebesar 91,2 juta lebih orang.
Tulisan ini tidak bermaksud mengupas tentang sejarah, mengapa NU itu didirikan, tetapi lebih kepada harapan atas kehadiran NU di Indonesia pada momen satu abad ini.
Indonesia sampai dengan Januari 2023 mendominasi jumlah penduduk di wilayah Asia yaitu sebanyak 273,52 juta jiwa. (bdk. databoks.katadata.co.id).Â
Artinya bahwa 1/4 lebih dari total jumlah penduduk Indonesia adalah anggota NU. Jumlah sebesar itu sebenarnya sudah 11 kali jauh lebih besar dari jumlah penduduk Israel.
Pernah kebayang gak Indonesia tanpa NU?
Apa jadinya Indonesia tanpa NU, tidak hanya sekedar pertanyaan dan pernyataan, tetapi suatu lebih dari semuanya NU adalah hadiah yang maha besar kepada bangsa ini.Â
Tanpa NU, maka betapa goyahnya pilar persatuan dan kesatuan bangsa kita. Jika tanpa NU, maka betapa hancurnya wajah toleransi di Indonesia.
Tanpa NU, mungkin bangsa ini sudah bubar. Oleh karena itu, ketika berbicara tentang NU yang mencapai usia satu abad, sebenarnya bangsa ini sedang berbicara tentang asal mereka, tentang ayah dan ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
NU lahir di tengah gejolak penjajahan bangsa ini dan itu berarti bahwa ada tetesan darah dan keringat pejuang NU yang telah terkubur di negeri kita demi kemerdekaan bangsa ini.
Tapi uniknya bahwa NU tidak pernah mengklaim bahwa Indonesia itu adalah NU. NU tetap hadir dengan tenang dan berwibawa sebagai sesepuh bangsa yang selalu lebih usianya dari hitungan tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
NU itu sesepuh bangsa yang merangkul semua
Rakyat Indonesia tahu pada posisi manakah NU berdiri di tengah gejolak politik tanah air yang seringkali membara dan meruncing munculnya perpecahan.
Ideologi-ideologi baru yang mengatasnamakan agama muncul dengan pengaruh-pengaruh yang tidak kalah menarik melalui propaganda tafsiran dan ceramah yang berusaha menyingkirkan keberagaman yang ada di negeri ini, tapi ujung-ujungnya mental ditepis pemikir-pemikir NU yang jenius dan berakar kuat pada tradisi keislaman dan peradaban bangsa ini.
Tidak kalah segarnya dalam ingatan bahwa pada era tertentu aksi main hakim sendiri dari ormas-ormas tertentu membatasi dan melarang simbol-simbol religius tertentu, juga akhirnya ditepis hingga membeku berkat dukungan barisan pemuda NU.
Dalam situasi tertentu yang cukup rumit dan gawat di negeri ini, NU hadir dalam satu barisan  yang gagah perkasa bersama pihak keamanan negeri ini.
NU bahkan berani menyerukan yel-yel untuk NKRI harga mati. Hal-hal seperti itu mungkin saja dianggap biasa oleh NU sendiri, tetapi bagi kaum minoritas di negeri ini tentu saja menjadi satu kekuatan yang mengharukan.
NU hadir sebagai sesepuh yang kuat menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini. Sesepuh yang bijak meluruskan dalil-dalil sesat yang memecah belah gairah toleransi bangsa ini.
NU, benteng NKRI dan toleransi - anti radikalisme
Sebagai sesepuh bangsa tentu saja NU punya petuah. Petuah yang berakar dari sejarah untuk bangsa ini. Jika pada 22 Oktober 1945 NU punya fatwa bahwa setiap orang dewasa yang berada dalam radius 90 km dari medan pertempuran melawan penjajah wajib berperang, maka sebenarnya potensi fatwa NU punya kekuatan yang besar untuk mengubah bangsa ini.
Saya membayangkan bahwa jika gelombang radikalisme yang memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini, sampai pada titik tertentu sulit diatasi negara, maka sudah pasti fatwa keramat NU bisa menjadi andalan satu-satunya.
Fatwa NU itu adalah petuah dari sesepuh bangsa yang menjadikan bangsa ini merdeka dan tetap bersatu dalam bingkai NKRI. Kepedulian, pengabdian dan pengorbanan tokoh-tokoh NU sudah tidak bisa diragukan lagi sejak awal mula berdirinya di negeri ini.
Kurang apalagi, NU punya 9 pahlawan nasional: KH Hasyim Asy'ari, KH Abdul Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin, KH Zainal Musthafa, KH Idham Chalid, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Syam'un, KH Masykur. (okezone, 31/08/2021).
Kesembilan pahlawan NU itu tentu saja mewariskan cerita, ajaran hidup dan keteladanan bagi generasi-generasi NU saat ini dan selanjutnya.
Oleh karena itu, tidak ada harapan yang lebih berarti dari seluruh rakyat Indonesia ini bahwa di usia 100 tahun ini, NU jangan lupa sebagai sesepuh mengajarkan generasi baru untuk setia pada tradisi dan warisan nilai para pahlawan itu.
Mereka tidak pernah berhenti mempertaruhkan nyawa mereka untuk kemerdekaan, dan keutuhan bangsa ini. Oleh karena itu, sepantasnya barisan penerus NU bergandengan tangan dan mengangkat kepala menatap ajaran dan tradisi pendahulunya lalu menafsirkannya sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Jika akar wawasan pengikut NU tidak goyah, maka apapun pengaruh radikalisme itu tidak akan sanggup meruntuhkan peradaban bangsa ini.Â
Jika NU bersatu, maka NKRI pasti utuh. Jika NU lurus dan tulus pada ajaran sesepuh mereka, maka toleransi akan tetap bertumbuh subur di negeri ini.
Perjumpaan dengan Kyai NU di Kota Malang
Saya masih ingat waktu itu tahun 2010, saya mengikuti kursus kepemimpinan di kota Malang. Sebulan kursus itu dengan berbagai macam kegiatannya.
Satu kegiatan yang menarik dan tidak terlupakan adalah kunjungan persaudaraan di rumah seorang kyai di kota Malang. Saat itu kami memasuki rumah sang kyai itu.
Rumah itu sangat bersih dan ditata rapi, ada lemari buku yang tebal. Ada karpet berbunga yang sangat indah. Ada hidangan makan yang bermacam-macam.
Kami 40 orang duduk bersama di dalam ruangan dalam rumah sang kyai. Kami mendengarkan petuahnya. "Kita satu saudara, cuma beda bahasa dan kalimat, tapi isi dan intinya sama," tegasnya waktu itu.
Satu hal yang berkesan adalah respek dan rasa hormat yang luar biasa, ketika kami menyanyikan satu lagu Mariam, sang kyai memejamkan matanya. Ketika lagu selesai, sang kyai membuka matanya, lalu berkata, "Itu benar, dia perempuan yang terpilih."
Perjumpaan itu sangat membekas dalam hati dan pikiran saya. Saat itu adalah saat pertama berjumpa dengan sang kyai yang penuh hikmat dengan pancaran wajahnya yang tenang dan bijak.
Selamat atas ulang tahun NU ke-100, jadilah garda dan benteng NKRI dan toleransi.
Salam berbagi, ino, 7.02.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H