Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

3 Model Pendekatan Ini Ampuh Meningkatkan Minat Baca Masyarakat, Anak Didik, dan Para Guru

4 Februari 2023   04:32 Diperbarui: 5 Februari 2023   03:00 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada 3 model pendekatan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, anak didik dan para guru | Dokumen diambil dari Schtterstock, amp.suara.com

Siapa yang suka membaca, dia akan semakin banyak tahu, dan siapa yang banyak tahu sebaiknya dia perlu menulis, supaya apa yang diketahuinya tidak dilupakannya sia-sia.

Mengenal aksara hingga sanggup membaca merupakan momen penting yang hanya bisa ditemukan di rumah dan di sekolah formal. Apakah itu cukup menjadikan orang senang membaca? Tentu saja gak.

Kalau di Flores tampaknya bahwa generasi buta aksara itu adalah generasi yang sekarang ini sudah berusia 60-an tahun ke atas, sedangkan generasi muda umumnya bisa membaca.

Generasi yang bisa membaca itu tentu saja tidak sama dengan generasi yang gemar membaca. Oleh karena itu, problem yang cukup umum saat ini adalah soal minat baca yang rendah.

Meskipun demikian, perlu dibedakan juga bahwa minat baca yang rendah di sini berkaitan dengan minat baca buku dan bukan minat baca sms.

Anehnya bahwa umumnya generasi muda yang bisa membaca itu hanya mampu membaca sms berjam-jam, sedangkan sebaliknya mereka tidak cukup mampu dan tidak cukup tertarik membaca buku atau tulisan-tulisan di website atau sejenisnya.

Ada tiga model pendekatan yang bisa dilakukan untuk menstimulasi minat baca pada tiga jenjang berbeda, yakni pada masyarakat, anak sekolah, dan para guru:

1. Minat baca masyarakat dan majalah dinding masyarakat (Madingmas)

Pertanyaan yang penting tentu saja, bagaimana caranya untuk menaikan minat baca bukan saja anak-anak sekolah, tetapi juga minat baca masyarakat biasa.

Pada tahun 2010, saya pernah memikirkan bagaimana caranya supaya masyarakat desa itu bisa diajak membaca. Oleh karena itu, terobosan yang pernah saya buat adalah dengan cara menyiapkan papan majalah dinding yang ditempatkan di tempat terbuka di depan Kantor Desa, di mana dekat Kapela di desa kami.

Papan majalah dinding masyarakat itu itu berfungsi ganda, tidak hanya berisikan pengumuman penting dari desa, tetapi juga beberapa informasi penting terkait bidang-bidang kehidupan sosial, rohani dan jasmani lainnya. 

Pada awalnya, saya mulai dengan 4 halaman besar yang diprint dan ditempelkan pada papan majalah dinding itu. Koran kecil dan sederhana itu bernama WASI. 

WASI dalam filosofi bahasa daerah Ende berarti menyiram atau memercik. Namun dari segi rohani, kata WASI merupakan singkatan dari Warta Sinai. 

Ya sebuah media pewartaan yang tidak hanya memberikan informasi dan inspirasi, tetapi juga terkait pewartaan iman, ibarat warta nabi Musa di gunung Sinai.

Ada 3 model pendekatan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, anak didik dan para guru | Dokumen diambil dari Schtterstock, amp.suara.com
Ada 3 model pendekatan untuk meningkatkan minat baca masyarakat, anak didik dan para guru | Dokumen diambil dari Schtterstock, amp.suara.com

Kehadiran majalah dinding masyarakat (Madingmas) itu spontan menimbulkan rasa ingin tahu semua orang yang datang setiap hari Minggu ke Kapela untuk berdoa dan juga membangkitkan rasa ingin tahu anak-anak sekolah, karena Madingmas berdiri persis di depan komplek sekolah dasar, SDK Paumere.

Datang dan menunggu sampai acara doa dimulai, mereka tampak berdiri di sekitar Madingmas itu dan membacanya. Rasa kepo semakin terlihat.

Pada bulan selanjutnya, saya berusaha mendapatkan beberapa foto dari orang-orang di kampung, dari aktivitas biasa dan berusaha merefleksikan tentang apa yang sedang terjadi di sana. 

Foto-foto mereka mulai dimasukkan dan diberi komentar-komentar yang sedap dan menyenangkan. Rupanya foto-foto dari orang yang mereka kenal dan bahkan wajah mereka sendiri itu menjadi hal yang sudah luar biasa bagi mereka.

Terasa wajah di papan Madingmas itu seakan-akan sama dengan wajah yang muncul di Kompas.com misalnya. Pada intinya papan Mandigmas adalah sarana yang tepat untuk memberikan rangsangan bagi minat baca masyarakat.

Eksperimen Madingmas itu telah memberikan saya satu perspektif yang optimis bahwa masyarakat kita bisa juga dibawa ke gaya hidup baru seperti belajar membaca. 

Mengapa sekolah-sekolah dan desa-desa tidak memiliki jenis majalah dinding yang bisa menjadi sarana stimulasi minat baca?

2. Standar buku bacaan di tingkat sekolah dasar (SD), SMP dan SMA

Sekolah di mana saja baik itu tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang setara, perlu punya tuntutan baca yang jelas. 

Katakan seperti ini, sekolah menuntut anak-anak sekolah sebagai persyaratan kelulusan anak-anak di jenjang Sekolah Dasar (SD) harus membaca  20 buku cerita entah yang banyak gambarnya.

Pengontrolan minat baca itu bisa dilakukan melalui kerjasama dengan pegawai perpustakaan. Anak-anak sekolah perlu secara rutin memberikan laporan terkait, buku apa yang mereka baca, dari halaman berapa sampai halaman berapa, kapan dibacanya dan apa yang mereka suka dari bacaan itu.

Tentu saja sangat penting dalam hal ini, peran guru wali kelas untuk memperhatikan secara khusus minat baca anak-anak didiknya. 

Guru wali kelas misalnya perlu mengumpulkan itu setiap akhir pekan dan membaca semua hasil karya anak didiknya.

Cara seperti ini akan sangat menolong guru yang juga mungkin kurang punya minat membaca buku. Dari tugasnya itu, maka dia mau tidak mau harus membaca tulisan anak didiknya. Hal seperti itu mesti datang dari seorang guru. 

Guru yang baik dan bertanggung jawab mesti punya ketertarikan untuk mendukung anak-anak didiknya lebih maju dalam minat membaca.

Sistem yang sama berlanjut sampai ke tingkat selanjutnya, cuma dengan tuntutan yang berbeda, misalnya tingkat SMP harus membaca 30 buku dan mereka mulai diminta untuk menceritakan ulang apa yang mereka baca.

Dan di jenjang SMA harus membaca 40 buku. Dalam hal ini, siswa dari SD sampai ke SMA, dia sudah pernah membaca buku 70 judul buku. 

Harapannya bahwa dari kebiasaan dan rutinitas membaca buku sebanyak 70 judul itu, tumbuh minat baca atau anak-anak remaja sudah menjadi terbiasa dengan membaca buku dan tidak bisa lagi tanpa membaca buku.

Jika anak didik bisa mencapai standar seperti itu, maka di jenjang perguruan tinggi,  mereka sudah otomatis punya kemauan dan kemampuan itu. 

Kemampuan apa lagi yang perlu dikembangkan di jenjang Universitas, ya bisa saja kemampuan menulis, dan lain sebagainya tentu saja sudah dimudahkan oleh karena kebiasaan membaca buku.

3. Bagaimana memajukan minat baca para guru?

Para guru juga perlu dimotivasi supaya punya minat baca dan tidak hanya hebat memotivasi anak didik, tapi mereka sendiri perlu memotivasi diri untuk membaca buku dan mengupdate diri sampai kepada kekinian.

Sebenarnya melalui dinas pendidikan langkah menaikkan minat baca para guru bisa dibentuk. Katakan saja setiap guru tidak ada istilah ada kenaikan pangkat otomatis.

Hal yang penting adalah perlu ujian kompetensi guru. Dalam hal ini, dinas pendidikan dan kebudayaan perlu merencanakan standar kemampuan guru berupa program baca untuk para guru.

Para guru perlu membaca literatur yang wajib dibaca. Bagaimana tahu bahwa para guru itu rajin membaca? Ya pada momen ujian kompetensi itu, soal ujian  tentu saja datang dari buku-buku yang wajib dibaca oleh para guru.

Dengan cara itu, otomatis bahwa para guru mesti membaca buku-buku itu. Karena tanpa membaca literatur itu mustahil bisa lulus dalam ujian kompetensi.

Nah, ini hanya merupakan satu strategi supaya para guru juga punya minat baca buku. Soalnya terkesan, semakin ke desa, semakin jauh kehidupan para guru dengan kebiasaan membaca buku.

Pengalaman pertama belajar membaca buku pada tahun 1999-2000

Pada tahun 1999 ketika berada pada proses formasi khusus selama dua tahun, kami diwajibkan membaca 65 buku. Pertama kali mendengar penegasan dari sang magister pada masa itu, jantung saya langsung berdebar.

Pasalnya, sejak SD sampai SMA, saya belum terbiasa membaca buku. Bagaimana saya bisa membaca 65 buku itu, ditambah dengan tuntutan lainnya bahwa selama dua tahun harus membaca Kitab Suci dari Kitab Kejadian sampai Kitab Wahyu.

Oleh karena tuntutan yang mau tidak mau harus dipenuhi supaya ada kelanjutan proses formasi ke jenjang yang lebih tinggi, maka dalam waktu dua tahun saya bisa menyelesaikan itu semua dengan baik.

Saya masih ingat, ada satu buku terjemahan yang sangat tebal hampir 1000 halaman yaitu buku Wajah Tersembunyi dari Santa Theresia dari Lisieux.

Buku itu juga bisa diselesaikan selama beberapa bulan. Ya, semua buku sesuai persyaratan itu bisa diselesaikan dalam waktu 2 tahun. 

Dari yang tidak biasa dan tidak bisa, akhirnya menjadi biasa membaca buku.

Ada kepuasan yang bisa dirasakan bahwa sekurang-kurangnya dalam hidup ini, pernah di tahun 1999-2000 pernah membaca Alkitab dan membaca 65 buku.

Buku-buku itu tidak hanya sekedar dibaca, tetapi selalu ada ringkasan dan refleksi singkat, dengan bubuhan informasi yang jelas, hari tanggal dan dari halaman berapa sampai halaman berapa saya membacanya.

Untung juga sih, saat belajar membaca dilatih juga sedikit demi sedikit menulis refleksi cuma satu halaman setiap hari. Pada awal dari proses itu terasa beratnya luar biasa, namun saat ini misalnya, hanya ada rasa syukur tak terhingga.

Dari proses sakit pada masa itu, ternyata bisa mengubah kebiasaan hidup saya hingga menjadi terbiasa sampai dengan saat ini. 

Dari latar belakang pengalaman itulah, saya menemukan gagasan bahwa tiga kelompok sasaran itu (masyarakat biasa, anak didik dan para guru) bisa diajak membaca dengan cara tertentu sesuai konteks masyarakat, konteks sekolah dan pendidikan di setiap jenjangnya dan juga konteks kebiasaan para guru.

Salam berbagi, ino, 4.02.2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun