Tertekan karena amukan pedas pegiat literasi sosial media, pernyataan-pernyataan yang dianggap bijak pun ambruk sesaat. Permohonan maaf kembali riuh kritikan.
Mengkritik dengan jelas akan tetap lebih berwibawa daripada hujatan tanpa fakta. Bumerang itu kata bijak saat hujatan dilemparkan pada orang benar yang mencintai rakyat.
Permohonan maaf tak perlu bersilat lidah. Jika hujatanmu punya nama, mengapa maafmu tak disertakan nama. Arogansi kata itu bisa meruntuhkan kehormatan sang budayawan.
Orang-orang bijak  disilaukan mata karena ingin disebut netizen zaman sekarang. Netizen kejam bisa berwajah seperti ibu-ibu orang biasa; berkata bijak, kritis dan tegas.
Mereka menyembur bara dalam setiap kata kritisi lawan yang salah dan tak bijak. Kehormatanmu tinggal mimpi. Dunia kita tidak banyak orang sabar yang coba tetap hormat meski ada yang salah.
Kalau itu benar kritikan yang membangun bangsa, kenapa harus ada maaf? Kalau memang sejujurnya itu hujatan karena bara kebencian, maka pantas maafmu diterima.
Maaf tanpa nama? Aneh luar biasa. Maafmu kepada siapa? Siapa yang kamu rendahkan? Kepadanya kamu katakan maaf. Maaf yang jujur itu akan mengangkat kembali kejatuhanmu dari dunia serakah.
Pengagummu malu tersipu, saat kamu begitu kasar pada orang yang lembut dan bersahaja. Tanyakan pada rakyat jelata, jika kamu ingin menghujatnya, pantaskah dia disebut raja tiran.
Punya massa, tidak selamanya punya alasan untuk menghujat pemimpin bangsa. Punya nama besar juga tidak selamanya benar dalam setiap kata-kata.
Katakan maaf pada siapa yang terluka karena kata-kata. Katakan maaf pada dia yang khilaf. Wajahmu akan kembali bersinar bagaikan kembang api di tengah malam.