Wasi  itu berarti siraman. Bentuk siraman itu beraneka ragam, mulai dengan sapaan, lalu memberikan rokok, memberi uang kepada anak-anak dari mereka yang sedang gesa atau bincang-bincang, memberikan secara spontan uang untuk belanja dan hadir dalam setiap momen kekeluargaan.
Semua pendekatan itu, cuma satu tujuan agar memikat di mata, lalu pada akhirnya mendapatkan dukungan suara. Oleh karena metode-metode pendekatan itu membutuhkan uang, maka "caleg adalah orang yang harus punya modal tebal," itu pengakuan yang muncul kebanyakan di masyarakat.
Bahkan sangat mengerikan terjadi bahwa caleg meminjam uang di bank untuk pencalonannya dengan pertimbangan, nanti kalau jadi anggota dewan, maka dalam beberapa bulan saja pasti sudah dapat dibayar semuanya.
Hampir bisa dipastikan tidak ada caleg yang tidak punya modal berupa uang, entah itu uang pribadi, maupun uang pinjaman. Menjual visi, misi dan komitmen sudah terasa tidak cukup untuk meraup kepercayaan masyarakat.
Gesa-wasi dan uang sering dipakai sebagai metode pendekatan para caleg. Apakah metode itu baik dan benar? Pada prinsip metode gesa dan wasi itu tidak salah kalau lahir dari motif persaudaraan dan belas kasihan.
Cuma pada momen pilkada, gesa dan wasi sering punya tujuan ganda dan akhirnya sering dicurigai.
Prinsip masyarakat yang melemahkan caleg
Sementara itu, masyarakat kita sudah cerdas bahkan ada yang punya prinsip seperti ini, "Jika caleg datang beri uang, maka kami akan menerimanya, tapi untuk memilihnya, ya lihat saja."
Prinsip seperti itulah yang sudah berulang kali menjatuhkan para caleg yang modalnya cuma pakai uang. Politik uang (Money politic) rupanya sudah menjamur, bahkan sudah mewabah, mungkin  juga tingkat keparahannya seperti sudah pandemi.
Oleh karena modal uang, lalu orang bisa menjadi caleg, maka tampak sekali bermunculan banyak sekali caleg dari tengah masyarakat. Siapa yang bisa melarang? Tentu saja tidak bisa, karena hal itu merupakan hak politiknya warga negara Indonesia.
Solusi apa supaya politik uang itu mulai dikerdilkan?