Koran Augsburger Allgemeine bahkan merilis pernyataan yang terdengar aneh karena Ratzinger dianggap lebih tepat disebut sebagai seorang guru dan profesor daripada sebagai seorang gembala.Â
Meskipun demikian, menariknya bahwa pernyataan yang memojokan pengaruhnya di tahta kepausannya diterima dan diakuinya. Ternyata Ratzinger juga mengakui bahwa pengetahuan tentang sifat manusia dan pemerintahan bukanlah salah satu kekuatannya.
Kejujurannya itu menjadikan jelas posisi dirinya sebagai seorang teolog besar yang tetap pada prinsip dalam usahanya untuk mensintesiskan iman dan akal budi.Â
Sintesis teologis ala Ratzinger di zaman ini dianggap sebagai satu terobosan yang luar biasa. Demikian Ratzinger dengan tegas mengatakan: Die Vernunft wird ohne den Glauben nicht heil, aber der Glaube wird ohne die Vernunft nicht menschlich", atau "Akal tidak bisa disembuhkan tanpa iman, tetapi iman tidak bisa menjadi manusia tanpa akal,"
Gagasan kunci dari pemikiran teologisnya telah dirujuk kembali sejak Ratzinger mengajar di Regensburg, Jerman pada tahun 2006. Fokus perkuliahan yang diberikannya adalah membahas hubungan antara iman dan akal budi.
Krisis gereja: disintegrasi liturgi, pembersihan dan pembaharuan Ratzinger
Koran Augsburger Allgemeine juga merilis tentang kenyataan Benediktus dalam suatu tegangan antara kesetiaan pada tradisi pada satu sisi dan bagaimana perjuangan untuk hidup di zaman ini dengan pandangan baru.
Setelah Konsili Vatikan Kedua pada tahun 1960-an yang mengubah begitu besar wawasan dan cara pandang melalui Aggiornamento dengan gagasan-gagasan keterbukaan pada kebenaran pada ajaran agama lain, maka kaum tradisionalis yang hidup di bawah pengaruh Konsili Vatikan pertama hidup dalam bayangan tertekan untuk waktu yang lama.Â
Namun, ketika masa kepausan Benediktus rupanya dalam waktu singkat, kaum tradisionalis itu menghirup nafas legah dalam kaitan dengan bentuk liturgi mereka. Paus Benediktus bahkan berpendapat bahwa krisis gereja terutama disebabkan oleh disintegrasi liturginya.
Di tengah derasnya arus pembaruan liturgi dari Konsili Vatikan kedua, Paus Benediktus justru bersikeras dengan supremasi tradisi. Oleh karena itu, Ratzinger hadir lebih dengan sorotan kritis tentang "Ausmisten und Erneuerung" atau pembersihan dan pembaharuan.Â
Ratzinger punya kemampuan berpikir cerdas dalam teologi dan oleh karena itu, dia memperoleh kepercayaan dengan jabatan penting di Jerman dan di Roma.Â
Ratzinger pernah mengalami dua kali konklaf tahun 1978, kemudian ditunjuk sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman oleh Paus Yohanes Paulus II dengan janji bahwa Ratzinger tetap diizinkan melakukan riset sain teologi.
Kekuatan gagasan dan pandangannya yang berakar pada tradisi itu lambat laun terasa kejam karena kehilangan relevansi yang terbuka kepada dunia dan gagasan lainnya. Reputasi baru di gandengannya sebagai penjaga iman yang kejam. Ketegasannya ternyata seperti memenjarakan konsep-konsep sekuler pada saat itu terkait dengan liberalisme dan relativisme.