Kalau bulan Desember itu musim hujan, ya pantas hujan dan bukan sebagai tanda keberkahan Natal. Hujan itu bagian dari fenomena alam yang jika terjadi tidak lagi bisa pandang bulu, untuk siapa dan dia agama apa, tetapi untuk semua orang, untuk semua makhluk di bumi ini.Â
4. Kata hujan dalam Alkitab disebut 457 kali, tetapi yang bersentuhan langsung dengan menyembah Raja cuma dari Kitab Zakharia. Kemungkinan lain adalah bahwa penulis mengambil referensi dari Kitab Suci dari Kitab Zakharia 14: 17 "Tetapi bila mereka dari kaum-kaum di bumi tidak datang ke Yerusalem untuk sujud menyembah kepada Raja, TUHAN semesta alam, maka kepada mereka tidak akan turun HUJAN."
Kutipan ayat itu konteksnya bukan Natal, tetapi perayaan pondok daun atau yang disebut Sukkot dalam bahasa Ibrani. Hari Raya Pondok Daun adalah sebuah hari raya Yahudi yang dirayakan untuk mengucapkan syukur  atas hasil panen yang dirayakan selama tujuh hari. Jadi, jelas tidak ada hubungannya dengan Natal.
Pergi ke Yerusalem tidak bisa menjadi "keharusan" yang pahit, tetapi kebutuhan yang menyenangkan dan bahagia untuk mempersembahkan kurban pujian dan ucapan syukur mereka kepada Tuhan. Hal itu telah menjadi keyakinan agama Yahudi.
Tulisan ini tidak bermaksud apa-apa selain untuk memberikan pencerahan kepada pembaca yang sudah membaca artikel lainnya yang mengatakan hujan itu ada hubungannya dengan Natal.
Berangkat dari pengalaman ini, ditemukan beberapa cara praktis yang penting diperhatikan oleh penulis ketika menulis tentang ajaran iman suatu agama. Beberapa hal itu antara lain:
1. Â Siapa saja yang menulis sesuatu apalagi yang berkaitan dengan ajaran agama tertentu, harus benar-benar dengan menggunakan referensi yang dijamin kebenarannya.Â
2. Penulis perlu dengan hati-hati membuat pernyataan tertulis karena, apa yang tertulis akan dibaca oleh yang lainnya. Nah, kalau isi tulisan itu tidak memuat unsur kebenarannya, maka bisa jadi tulisan itu akan punya potensi mewariskan pandangan yang salah, yang bisa juga menjebak yang lainnya untuk jatuh pada kesalahan yang sama: Salah paham.
3. Supaya penulis itu tidak jatuh kepada subjektivitas pandangan yang bertentangan dengan ajaran agama tertentu, penulis harus tahu prinsip umumnya, seperti orang bisa menulis tentang spiritualitas universal yang diterima oleh semua agama. Contohnya, tentang silaturahmi, persaudaraan dan lain sebagainya.
4. Penulis perlu membuat konfirmasi lebih dahulu dengan orang-orang terkait yang tahu benar tentang topik yang mau ditulis, sebelum tulisan itu dipublikasikan.
5. Tunjukan referensinya secara jelas, jika memang itu ada. Dan tidak boleh berdasarkan apa kata orang.