Lalu, mau bagaimana? Apakah itu akan menjadi suatu bencana ketika zero growth itu terjadi?
Semua bisa saja terjadi sebagai suatu kemungkinan. Kemungkinan putusnya keberlanjutan dalam sistem pendidikan misalnya, bisa saja terjadi karena resesi seks.
Coba bayangkan tanpa ada angka kelahiran pada tahun 2023 misalnya, maka 6 tahun yang akan datang tentu saja tidak ada anak-anak yang akan menduduki bangku sekolah dasar (SD) kelas satu.Â
Tentu saja hal itu akan menjadi suatu keanehan luar biasa. Meskipun demikian, harus diketahui juga bahwa keputusan untuk memperoleh anak itu adalah keputusan pribadi pasangan dan bukan semata-mata anjuran institusi pemerintah dan gereja.
Gereja bisa saja punya pendasaran yang meletakan konsep tentang moral perkawinan bahwa tujuan perkawinan itu adalah supaya memperoleh anak dan memperhatikan pendidikan anak-anak mereka.
Tapi, sekali lagi legitimasi kebebasan pasangan rupanya paling berperan dalam menentukan apakah mereka punya anak atau tidak. Perspektif seperti apakah yang bisa menjadi jalan tengah dari fenomena resesi seks ini?
Bagi orang Kristiani tentu saja alternatif yang perlu dilihat dan direfleksikan adalah kenyataan hidup Abraham dan Sara, lalu Yosef dan Maria.
Ada 2 model pertimbangan:
1. Adalah baik adanya bahwa pasangan boleh membangun kerinduan untuk memperoleh anak sekalipun mereka sudah berusia (terlambat menikah karena sibuk bekerja). Punya kerinduan dan iman untuk memperoleh anak seperti Abraham dan Sara jauh lebih baik dan etis dari pada sebuah keengganan tanpa alasan.
2. Adalah baik menjadi pasangan yang bertanggung jawab terhadap anak mereka, daripada enggan menerima karunia anak karena polemik fenomena perselingkuhan modern.
Tentu berbeda dengan kenyataan Yosef dan Maria dalam perspektif iman kristiani. Kesulitan Yosef dan Maria memahami misteri Tuhan, tidak menjadikan mereka menolak karunia Tuhan, tetapi menerimanya dengan penuh tanggung jawab dan dengan iman.