Adakah cara terindah memberikan jawaban pada anak yang kehilangan sang ayah, "Mama...dimanakah papa? Aku menunggu papa, aku mau makan bersama papa... (cuplikan dari Ino)
Usia-usia anak-anak umumnya melekat dengan usia rasa ingin tahu (Neugierig). Anak kecil selalu mengajukan pertanyaan terkait apa saja; mulai dari apa yang dipikirkannya sampai dengan apa yang dilihatnya.
Kali ini saya akan membahas bukan dalam konteks biasa dan umumnya yang terjadi pada anak-anak, tetapi lebih pada konteks khusus pada anak yang ditinggal sang ayah karena serangan kanker otak.
Pria berusia 50 tahun itu cuma menderita sakit 2 minggu di Rumah Sakit (RS) di Jerman, selanjutnya dokter memastikan bahwa ia pasti akan segera meninggal.
Apa daya ingin hidup bersama sang istri dan dua orang anaknya, tidak lagi bisa menjadi kenyataan masa depannya. Ia perlahan-lahan menutup mata, lalu diam begitu saja, seakan sudah melupakan semuanya.
Ya, ketidakberdayaan itu sering susah dijelaskan, tapi sudah pasti itu bukan kesengajaan. Entah apalah namanya. Singkatnya dalam waktu singkat keluarga kecil itu kehilangan sang ayah.
Sang ibu sendiri harus mengasuh dua anaknya, satunya berusia 5 tahun dan satunya berusia 3 tahun. Keduanya punya pertanyaan yang sama: Mama, di mana ayah? Kapan ayah pulang?
Kedua sudah terbiasa menunggu sang ayah di depan pintu pada jam pulang kerja. Mereka pasti disambut dengan pelukan sang ayah yang begitu mesrah, penuh kasih sayang. Ya, pelukan itu sulit dilupakan.
Itulah alasannya, pada setiap jam siang, pertanyaan yang sama diulang. Pertanyaan-pertanyaan itu sungguh seperti hujatan dan tikaman yang menusuk hati sang ibu.
Bagaimana menjawab pertanyaan anak-anaknya
Berbohong itu bukan pilihan dan bukan pula tujuan yang menghalalkan cara berbohong itu sendiri.
Ya, ketegaran untuk menghadapi situasi itu adalah satu-satunya langkah awal. Sang ibu sering menyembunyikan kesedihannya. Ia kadang menggigit bibirnya menelan kembali duka yang ingin dilupakan.Â
Tapi, ia tidak ingin kesedihannya itu dilihat anak-anaknya. Ia hanya punya niat supaya anak-anaknya bahagia meski tanpa kehadiran sang ayah.
Suatu ketika sang ibu ingin berlibur ke suatu kota yang jauh dari rumah mereka. Sang ibu membawa kedua anaknya dengan niat supaya ada suasana baru, yang berbeda dari yang terjadi biasanya di rumah.
Sayangnya, liburan bersama si kecil berdua itu tidak bisa sama sekali menghalau rasa ingin tahu anak-anaknya. Mami....papa di mana? Saat yang paling menyedihkan adalah ketika sang putera yang paling kecil mengambek dengan keras, katanya, "Mami aku mau tunggu papa, hari ini aku mau makan bersama papa."
Sang ibu tidak pernah kebayang ada pertanyaan seperti itu datang di tempat liburan mereka. Jantung sang ibu berdebar, air matanya mengalir senyap membasahi pipinya.
Tanyanya, "Kenapa Tuhan, saya harus hadapi ini semua? Bagaimana saya harus menjawab pertanyaan anak-anak kesayanganku. Â Aku hanya bisa menolong mereka, ketika mereka sakit, karena aku seorang dokter, tapi aku tak sanggup menjawab pertanyaan anakku sekarang."
Apa yang dilakukan sang ibu saat itu?
Pertama saya melihat foto mereka bertiga, momen sang ibu memberikan jawaban, terasa banget hati saya juga luluh lantah. Terlalu kejam untuk hadapi situasi seperti itu sendiri sebagai sang ibu.
Sayang sekali, foto itu sama sekali tidak diizinkan untuk dipublikasikan. Tapi, saya ingat sekali bagaimana ekspresi sang ibu memeluk kedua anaknya dengan deraian mata. Terasa sang ibu ingin berteriak, tolonglah Tuhan....Sang ibu sengaja melepaskan rambutnya menutup matanya di sebelah kanan.
Sang ibu lalu memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang dan berbisik pada anak-anaknya, "Papa ada di hatimu sayang. Papa hadir di dalam hatimu sekarang. Ia bersama kamu sayang. Ia bersama kita."
Salam berbagi, ino, 18.12.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H