Gempa, kemajuan ekonomi dan tantangan keamanan  di tengah arus persaingan global perlu dikaji sebagai tema-tema prioritas di Indonesia saat ini. Tanpa kepekaan melihat hubungan-hubungan itu, maka kematian massal di Indonesia oleh karena bencana gempa tidak pernah dihubungkan dengan keamanan bangsa | Ino Sigaze.
 Rentetan gempa pasca momen bersejarah G 20 di Bali menyeret saya kepada imajinasi hubungan yang susah dijelaskan, seperti apakah ada hubungan antara gempa, kemajuan ekonomi Indonesia dalam kancah persaingan global dan pertahanan dan keamanan bangsa ini.
Mencari benang merah penjelasan yang menghubungkan ketiganya sama dengan membangun sebuah teori konspirasi, yang tentu saja tidak enak didengar dari lensa ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, tulisan ini bukan merupakan ajakan untuk membangun teori konspirasi, tetapi lebih mengajak bangsa ini untuk waspada. Sistem pertahanan bangsa di tengah persaingan ekonomi global menjadi sorotan sentral yang pantas dijadikan prioritas perhatian.
Sistem pertahanan udara, darat, dan laut memang sudah sepantasnya menjadi hitung-hitungan bersamaan dengan kemajuan ekonomi bangsa ini.Â
Kemajuan ekonomi bangsa ini harus membawa serta kemajuan di bidang pertahanan dan keamanan. Pertahanan darat mungkin saja bisa dilihat dengan mudah, demikian juga zona pertahanan udara juga masih bisa dikendalikan dengan cepat. Namun, apakah bangsa ini sudah siap mengendalikan pertahanan dan keamanan di bawah laut?
Bangsa kita pernah punya sejarah tenggelamnya kapal selam beberapa tahun silam. Sebuah kapal selam bekas yang dihadiahkan dari pemerintah Jerman untuk bangsa ini. Tragedi itu menelan korban dan menyisakan duka mungkin saja hingga sekarang.
Kedalaman laut memang bisa diukur, tetapi persoalan gelombang dan benda-benda di bawah laut terkadang sulit terdeteksi oleh teknologi yang kita miliki. Ya, syukur kalau sistem pertahanan kita punya kemampuan cukup untuk mengontrol itu semua.
Satu hal yang pasti bahwa kemajuan teknologi persenjataan setiap negara itu berbeda-beda. Ada yang memang dipublikasikan dan ada juga yang sangat dirahasiakan karena punya kemampuan yang belum dimiliki oleh negara-negara lainnya.
Pengembangan teknologi gelombang sinyal cahaya yang bisa meretakan poros bumi di bawah laut sudah masuk dalam karya-karya non fiksi negara-negara maju yang super power.Â
Tidak heran ada letupan bernada konspirasi bahwa ada hubungan antara patahnya jalur gempa karena eksperimen persenjataan modern yang belum dipunyai siapa-siapa kecuali pemilik di wilayah Antartika.
Sekali lagi, tulisan ini tidak mengajak kita untuk membangun sebuah teori konspirasi dan mempercayainya, tetapi mari bangkitkan gairah inovasi dan kreativitas "tingkat dewa" yang bisa mengantisipasi sebuah teori konspirasi yang bisa menjadi kenyataan.Â
Pernahkah ada penelitian dan analisis yang tajam terkait gempa dalam hubungan dengan popularitas Indonesia di mata dunia?
Mata saya pernah membelalak ketika Presiden Jokowi angkat tangan mengambil alih Freeport pada tahun 2018. "Kita harus mendapatkan hak kelola mayoritas 51 persen, kata Presiden Jokowi pada akun Facebooknya sebagaimana dikutip (CNN Indonesia, 31/12/2018).
Saat itu jantung saya berdebar, hanya oleh karena prediksi tidak masuk akal dalam pikiran saya, yang muncul begitu saja. Saya pernah mengatakan pada saat itu, "Pasti deh, nanti akan ada rentetan gempa dan memakan korban ribuan jiwa rakyat Indonesia."
Siapa saja boleh tidak percaya, tapi ini adalah fakta bahwa pada tahun 2019 negeri kita diguncang gempa sebanyak 673 kali berdasarkan laporan resmi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) (CNBC Indonesia, 05/09/2019).
Tidak sangka bahwa catatan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data frekuensi gempa bumi pada tahun 2021 sebanyak 10.519. Jumlah itu kalau dipresentasikan sudah mengalami kenaikan sebesar 25,7% (CNN Indonesia, 30/12/2021).
Selanjutnya bagaimana dengan data terkait gempa di Indonesia di tahun 2022? Sindonews.com merilis data yang sangat mengejutkan. Periode yang sangat singkat dari 1 - 20 Januari 2022 saja sudah mencapai 726 kali gempa dan ada gempa yang terdahsyat terjadi di Banten pada 14 Januari 2022 (22/11/2022).Â
Dan tentu saja masih ada sederetan gempa lainnya pada tahun 2022. Potensi gempa di Indonesia menunjukkan tingkat kenaikannya seperti kenaikan inflasi di Eropa. Maksudnya, saat ini terus terjadi, bahkan meningkat.
Rilisan data dari beberapa media ini memberikan sinyal yang cukup terang bahwa sistem pertahanan diri bangsa ini harus dihubungkan dengan gempa. Ada berapa ribu korban gempa dalam setiap tahun? Ribuan korban itu sudah pasti dan bahkan berulang dari tahun ke tahunnya.Â
Adakah pertanyaan yang diajukan tentang kematian ribuan orang itu sama seperti bencana perang? Tentu saja tidak ada. Kematian 10 orang korban perang di Ukraina lebih menghebohkan dunia dari kematian 100 orang  tertimpa bencana gempa di Indonesia, mengapa?
Indonesia semestinya buka mata terhadap fenomena ini. Fenomena kematian massal yang hampir-hampir saja diterima sebagai hal yang biasa, aneh luar biasa. Mengapa tidak?
Setiap bencana gempa itu berulang, ternyata selalu menelan korban yang begitu banyak. Tapi, rupanya bangsa ini belum melihat hubungan antara kematian massal ini dengan sistem pertahanan, keamanan dan keselamatan nyawa manusia secara lebih serius.Â
Konsep umumnya adalah bangsa ini memikirkan antisipasi kalau suatu saat terjadi perang, bagaimana kita mempertahankan negeri tercinta ini? Orientasi masa depan itu memang bagus, namun jangan sampai melupakan situasi aktual yang terjadi sekarang.Â
Bukankan sistem pertahanan dan keamanan bangsa ini berorientasi kepada perlindungan terhadap keselamatan warganya?Â
Kemajuan ekonomi bangsa ini pada satu sisinya membangkitkan apresiasi dunia, namun pada sisi lainnya kita melupakan pembahasan yang serius tentang kematian massal yang terjadi setiap tahunnya, meski ada ucapan belasungkawa dari berbagai negara datang berulang-ulang.Â
Bukankah kematian seorang saja bisa menyisakan persoalan panjang, karena betapa pentingnya martabat manusia? Bandingkan kasus Sambo dan Brigjen Josua. Adakah politisi negeri ini yang menyoroti tentang fenomena kematian massal di Indonesia?
Mengejar popularitas dan kepentingan sepertinya tidak bisa lagi dikendalikan, sehingga mata menjadi buta untuk melihat lilitan duka, tangisan dan air mata di mana-mana.Â
Tidak sedikit pemimpin-pemimpin yang sehari-hari hanya pergi dan mengumpulkan massa supaya namanya disebut sebagai figur idola di negeri ini.
Orang sukses yang tidak pernah datang berkanjang dengan mereka yang berduka, itu bukan pemimpin masa depan.
Gempa semestinya menjadi pusat perhatian dan proyek masa depan bangsa ini dalam mencari solusinya. Kemajuan ekonomi bangsa ini semestinya berjalan seimbang dengan menurunnya angka kematian.Â
Masuk akal jika Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, (Pj) sejak awal sudah fokus pada pembersihan dan penanganan sungai Ciliwung hingga jadi aset wisata di tengah kota, yang terlupakan dibuat menjadi serupa dengan Eropa.
Bukan soal wisata ternama nantinya, tapi bahwa rakyat menikmati kenyamanan hidup sehat yang lama terpendam bersama rongsokan sampah yang tertahan.
Keselamatan manusia adalah pilihan utama (Optio fundamentalis) yang tidak dikalahkan dengan program-program lainnya. Apalagi yang sekedar menghabiskan dana atas nama popularitas di tengah kota.Â
Persaingan global tidak akan pernah berhenti lajunya. Indonesia berada di posisi yang disoroti dunia. Kebijakan-kebijakan pemberhentian ekspor bahan mentah bisa saja menaikan tensi persaingan global.
Sudahkah bangsa ini siap menghadapi arus krypto kolonialisme yang berwajah domba? Waspada, ada banyak harimau dan singa-singa lapar yang tengah menatap titik lemah bangsa kita.
Salam berbagi, ino, 12.12.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H