Umumnya setelah sampai tujuan mereka bertanya, "berapa harga ojek". Saya menjawab, "Terserah saja Pak atau Bu." Jawaban itu ternyata membuat mereka kasihan. Harga yang semestinya cuma 5000 rupiah, kadang mereka beri 10.000.Â
Tapi, saya dengan jujur menawarkan apakah mungkin besoknya saya menjemput dan mengantar lagi. Komunikasi mulai terbangun, hingga kami bisa berbagi nomor HP. Ya, sebuah perkenalan singkat dan santai mulai terjadi. Saya selalu berusaha tepat waktu sesuai pesanan untuk menjemput dan mengantar ke kantor mereka.Â
Komunikasi basa basi, tetapi perlahan-lahan membekas di hati hingga sampai pada kesan orang baik dan ramah menyapa pelanggan.Â
Dalam beberapa hari, saya sudah punya beberapa nomor baru yang sudah punya jam pasti menjemput dan mengantar.Â
Ya, lumayan bukan, selain itu saya bisa duduk di rumah sambil ngobrol dengan orang lain, tentu saja menunggu dering HP, informasi jemputan.Â
Langkah keempat, kejutan dari Radio Formiga
Rupanya pada masa itu, sebagian besar orang suka mendengar radio terutama pada sesi program request lagu.Â
Setelah malam tiba sambil menghitung pemasukan untuk sehari, waktu itu hanya ada rasa syukur berlimpah dalam hati.Â
Sebagai ucapan syukur itu, saya menyisihkan sedikit untuk request lagu-lagu bagi pelangganku hari itu.Â
Bung Jacky, nama samaran pada saat itu. Tembang lagu pesanan dari Bung Jacky untuk pelanggan ojek terdengar begitu mengejutkan dan terasa begitu menghibur serta membanggakan. Ya, saya tidak menduga bahwa cara request lagu untuk pelanggan itu begitu menyenangkan.
Simpati pun datang menyapa dunia perjuangan saya sebagai tukang ojek kala itu. Meskipun demikian, saya merasa bahwa itu belum cukup. Saya harus membantu teman-teman ojek lainnya yang wawasannya belum ke situ. Gimana caranya?
Langkah kelima, berbagi cerita di sudut pasar Pada, Lembata
Satu minggu pertama saya sudah mengenal 8 teman ojek. Suatu hari kami berkumpul duduk santai di tenda pasar masyarakat yang jual tuak putih dengan lawar ikan kecil khas Lembata.