Pengesahan KUHP baru bisa menjadi hembusan nafas baru bagi tumbuhnya peradaban bangsa Indonesia. Suatu peradaban yang tidak melupakan sejarah, etika, kemanusiaan dan keberagaman bangsa ini | Ino Sigaze.
Ulasan singkat topik pilihan Kompasiana kali ini jelas-jelas mengajak para penulis untuk mengkritisi perubahan KUHP sampai pada pengesahan KUHP baru-baru ini (6/12/2022).
Apa yang mau dikritisi juga terlihat jelas sekali, berkaitan dengan beberapa pasal yang disebut seperti pasal 218 sampai 220 tentang menjaga kehormatan pemerintah, lalu tentang tudingan kepada orang lain melalui tulisan dan terkait pemberitaan hoaks.
Mengapa ada perubahan hingga ada pasal-pasal baru terkait penghinaan terhadap Presiden, pasal tentang Makar, penghinaan terhadap lembaga negara, pidana demo tanpa pemberitahuan, berita bohong, hukuman terhadap para koruptor, kumpul kebo, sebar ajaran komunis, pidana santet, vandalisme, pidana hukuman mati, dan living law (CNN Indonesia, 7/12/2022).
Tulisan ini hanya menyoroti pasal tentang penghinaan terhadap Presiden, vandalisme, makar dan hoaks. Beberapa pertimbangan yang menjadi latar belakang, mengapa muncul pasal-pasal itu, antara lain:
1. Pengambil kebijakan tentang perubahan KUHP itu bukan suka-suka, atau tentu saja tidak bertujuan untuk membatasi daya kreatif para kreator konten, jurnalis tanpa alasan dan pertimbangan yang berangkat dari fakta media sosial Indonesia.
2. Jurnalis Indonesia dan para kreator konten justru ditantang untuk lebih dewasa dan hati-hati. Ya, jurnalis dan para kreator konten harus juga bisa membedakan antara kritik yang membangun dan maki-makian - menjelekan nama baik pemerintah.
3. Tujuan dari perubahan dan pengesahan itu pasti supaya penulis, kreator dan para jurnalis bisa memperhatikan kualitas konten. Siapapun sebenarnya bebas menulis dan berpendapat cuma ada adab dan etika sesuai dengan akar budaya bangsa kita.
Tentu saja alasan-alasan di atas sangat ideal. Tidak bermaksud menyepelekan kecemasan para penulis, jurnalis dan para kreator konten.
Ada beberapa alasan yang mempertanyakan dan bahkan menolak perubahan dan pengesahan KUHP khususnya pasal-pasal yang diangkat dalam tulisan ini.
1. Bisa saja karena alasan takut terjebak pasal hukum, maka kritik dan gagasan kritis menjadi kerdil bagi anak bangsa ini.
2. Matinya nalar bebas yang bisa secara tajam menyoroti fungsi dan peran pemerintah dan hal-hal lainnya, karena jangan sampai terjebak pasal baru KUHP.
3. Gairah para kreator konten bisa saja menjadi lesu.
Bagaimana dengan kehadiran oposisi pemerintah bersama buzzernya?
Perubahan KUHP ini berdampak sekali pada bahasa para oposisi pemerintah. Selama ini, oposisi sama dengan bisa maki-maki presiden, ya gimana? Negara mana yang Presidennya dimaki-maki?
Inti dari peran oposisi itu bukan hinaan dan cercaan yang menjatuhkan, tetapi sorotan kritis yang punya fungsi menjaga, mengarahkan kinerja pemerintah.
Dalam arus konsep seperti itu, kehadiran KUHP yang baru adalah sebuah afirmasi dari cara membangun peradaban bangsa ini.
Bangsa ini tidak boleh dikenal sebagai bangsa besar dengan jumlah konten kreator yang banyak tetapi tanpa tata krama, etika dan adab. Apa artinya kebebasan, kalau kebebasan itu hanya dipakai untuk merendahkan martabat orang lain?
Bangsa ini menjadi bangsa yang besar karena semua rakyatnya mampu menghormati sesamanya yang berbeda dan tidak menghina apa yang berbeda.
Memang kecemasan sebagian orang adalah kemungkinan adanya orang-orang yang kreatif terjebak ke dalam pasal-pasal itu. Tapi, jika kita dengan jujur tidak bermaksud menyerang dengan kata-kata yang keji, maka tidak mungkin begitu gambang orang diseret dengan pasal pelanggaran ini dan itu.
Cuma kalau terdengar berlebihan seperti kata-kata ini, “anjing kau, dll” Rasanya sangat tidak pantas untuk dikatakan kepada Presiden.
Dan tentu saja tidak mungkin kalau seorang jurnalis menulis bahwa “kerja presiden tidak becus, hanya suka pergi, dll, lalu dihukum, saya rasa itu tidak masuk akal dan tidak mungkin terjadi.
Dalam pemahaman seperti inilah, beberapa pasal baru itu memang bisa diberlakukan di Indonesia. Ada beberapa pertimbangannya:
Pembiaran terhadap hal yang tidak terhormat, akan sama dengan mewariskan sejarah bahwa orang bisa mencaci maki presiden, misalnya.
Tanpa ada larangan yang diatur Undang-undang, orang pikir bahwa berbohong itu baik, apalagi kalau didukung oleh banyak teman yang punya pengaruhnya.
Tanpa pasal larangan untuk Makar, maka negeri ini akan rusak, karena siapa saja bisa menggerakan massa untuk menghakimi yang lainnya, termasuk untuk melawan pemerintah dan menghakimi kaum minoritas.
Tanpa pasal-pasal hukum yang melarang vandalisme, maka fasilitas negara bisa dirusakan oleh siapa saja tanpa ada rasa bersalah.
Semua pasal hukum itu tidak dengan serta merta tanpa ada kenyataan yang pernah terjadi di negeri ini. Oleh karena itu, rakyat Indonesia seluruhnya perlu punya sudut pandang baru:
Demokrasi itu tidak berarti boleh caci maki sesuka hati.
Mayoritas itu tidak berarti otomatis bisa menghakimi yang kecil
Kecewa dan marah itu tidak berarti harus dengan ekspresi vandalis sebagai solusi.
Salam berbagi, ino, 7.12.2022.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI