Urusan pengiriman selesai, namun ternyata ketika sampai di Flores, ada pihak lain lagi yang menerima bantuan itu, lalu mengelolanya tanpa menyebut sedikitpun nama penyumbangnya dari Jerman.Â
Waduh, kesal banget saya saat itu. Saya kesal karena terkait identitas pemberinya yang menjadi kabur dan hilang dalam perjalanan.Â
Artinya penerima di tempat bencana merasa berterima kasih kepada pengantar bantuan, bahkan nama pengantar disebut, sedangkan pemberi sendiri tidak disebut.Â
Sampai di sini gimana perasaan Anda? Saya benar-benar kesal, seakan-akan di tengah bantuan ini, ada pihak yang mencari pengakuan, tetapi juga saya bisa mengkritik diri saya mengapa ada kerinduan dari pemberi supaya namanya disebut.
Apa solusinya?Â
Belajar dari pengalaman itu, saya sempat punya gagasan seperti ini. Sebisa mungkin pemberi bantuan bisa menyalurkan sendiri bantuannya kepada warga masyarakat yang terkena bencana. Namun, sayangnya pilihan ideal itu kadang tidak mungkin.Â
Misalnya saya mencari dana sekitar 1000 euro, tapi biaya perjalanan ke Indonesia lebih dari 1000 euro, kan jadi aneh. Mendingan dikirim saja. Itulah sebabnya mengapa sangat ideal ada konsep tentang bantuan tanpa identitas, tapi tepat sasaran.Â
Oleh karena itu, sebenarnya kita perlu punya kepercayaan dalam jaringan kerjasama untuk tujuan yang sama tanpa cari nama dan popularitas.Â
2. Opsi keberpihakan sebaiknya tanpa identitas agama
Bukan soal sepele lagi kalau toh bantuan kemanusiaan, pada akhirnya membawa nama agama tertentu. Itulah anehnya dunia kehidupan kita.Â
Namanya saja sudah "bantuan kemanusiaan" mengapa mesti ada lagi identitas agama di sana? Itulah kendala umumnya di Indonesia, sedikit-sedikit agama.Â