Dibalik bubur kacang ternyata ada  cerita tentang gagasan menjadi kreatif, sederhana, sesuai jangkau daya beli masyarakat dan juga tentang harga dari waktu yang diberikan.
Sajian topik pilihan Kompasiana kali ini menyeret saya kembali ke masa lalu, tahun 1998 di Ende, kota Pelajar di Flores, NTT. Krisis 1998 berjalan tanpa henti, bahkan aksi penjarahan meninggalkan debu asap, api dan trauma psikis yang tidak sedikit.
Waktu itu saya berada di bangku kelas tiga SMA, di sebuah SMA Swasta di kota Ende. Hidup susah di masa itu seperti sudah menjadi teman sehari-hari.Â
Bubur kacang hijau dan roti tawar di tengah krisis 1998, sederhana tapi 24 jam tersedia
Saya masih ingat semangkok bubur kacang hijau dan sepotong roti tawar dari sudut kota dekat sekolah yang selalu siap melayani rasa lapar anak-anak sekolah selama 24 jam. Ya, terkenal 24 jam karena siapa saja yang datang pada jam setengah dua belas malam, ternyata ibu Asdah (bukan nama sebenarnya) masih juga menyiapkan bubur kacang dan sepotong roti tawar.
Tidak heran kalau kami saat itu pulang begadang dan lapar, maka kami selalu mampir di warung ibu Asdah dekat sekolah persis di bawah pohon mangga, jalan Woloare A persisnya, kelontong Flores 1998 itu.
Ibu Asdah itu rupanya cerdas membaca peluang di tengah krisis 1998. Memilih hidup dengan cara halal di tengah krisis itu tidak mudah. Ia sudah tampak tua, 60 tahunan. Punya gubuk yang sangat sederhana; beratapkan daun kelapa, dinding dari bambu yang sebagian sudah berlubang dan rusak.
Tapi bubur kacang karya tangannya itu telah mengukir kisah yang tidak bisa dilupakan oleh kami angkatan 1998. Kisah "ketersediaan" di saat lapar dan tidak punya harapan, di mana kami bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa tidur semalam.
Unik bagi saya tentunya, bahwa ibu Asdah itu punya gagasan sesederhana itu. Idenya yang begitu sederhana sampai seperti tidak mungkin bahwa akan menjadi populer dikenang orang.
Nah, waktu terus berjalan sampai hari ini, saya bisa menulis kembali tentangnya itu bagi saya bernilai mahal dan indah. Sebuah keindahan dari gambaran situasi susah di tahun 1998.
Keindahan yang dihasilkan bukan dari cerita indah, tetapi dari pengalaman perjuangan seorang ibu tua demi anak-anaknya dan demi hidupnya di kala krisis melanda negeri tercinta, Indonesia.