Pada posisi manusiawi yang lain, saya langsung berpikir, saya tunggu kalau ada kesalahannya, nanti saya akan tegur dia, tidak peduli dia lebih tua.
Itu benar-benar niat saya beberapa hari lalu, setelah pagi harinya dia menegur saya. Ternyata pada sore harinya, langsung telak sekali. Ada kegiatan bersama yang seharusnya dipimpin teman saya itu. Waktu tinggal 5 menit, semua orang sudah menunggunya.
Saya menelepon dia untuk memberitahunya, ternyata dia sudah nongol dan bertanya, siapa yang bertugas? Saya bilang, "sesuai jadwal, sepertinya Anda yang bertugas."
Dia seperti tidak percaya dan berusaha protes. Saya katakan sekali lagi, "sudahlah siap-siaplah sekarang dan saya membantumu untuk siapkan microphone dan lain sebagainya."
Setelah acara selesai, semestinya, waktu itu kesempatan indah buat saya untuk mengupas kesalahannya. Tapi, kenapa ya, rasanya sih gak tega. Pertama waktu melihat saya, dia sudah nervous. Saya lalu menyebut namanya, "Richard (bukan nama sebenarnya), alles wird gut," semua akan jadi baik.
Saya juga tidak sanggup untuk berdiri lama bersama dia, karena saya yakin pasti akan sangat mengganggu dia. Saya pergi dengan harapan biar dia tahu bahwa saya memahami perasaannya, dan menganggap itu semua sudah berlalu dan kita mulai baru sambil saling mengingatkan dan tidak saling mempermalukan.
Bagi saya momen seperti itu adalah momen pergulatan yang penuh arti. Cerita itu mengajarkan saya tentang hal ini:
1. Respek itu nilainya selalu lebih tinggi dari sekedar memuaskan amarah untuk balas dendam.
2. Meredam keinginan untuk mengupas kesalahan orang lain sama dengan memasukan diri ke dalam ruang penguasaan diri yang tenang.
3. Tidak terbawa emosi itu adalah pilihan bijak, karena sebenarnya Anda punya potensi untuk mengupasnya, tapi Anda tidak melakukan itu karena pertimbangan tidak mau menuruti perasaan sesaat.
4. Menulis itu adalah proses kedewasaan berpikir. Pilihan mengupas kesalahan orang lain, baik itu lisan maupun tulisan, tidak terlepas dari pertimbangan seberapa besar orang lain tetap dihargai.Â