Batu-batu itu tampak seperti terumbu karang dengan tingkatan yang sangat menarik. Airnya jatuh sunyi bersama dengan siulan burung kenari. Panjang aliran mata air dengan struktur tingkatan itu mencapai 300 meter.
Saya pernah membayangkan betapa tempat itu bisa dijaga dan di dandan menjadi tempat mandi sekedar duduk hening dan bermeditasi. Pada kolam-kolam kecil itu dibiarkan ikan-ikan untuk terapi kaki pengunjung hidup di sana. Pengunjung boleh mandi dan bisa membiarkan kaki mereka yang lelah berjalan dipijak ikan-ikan kecil.
5. Potensi adat yang tua dan aktual
Desa Kerirea dalam beberapa tahun terakhir ini sempat ada perencanaan dari Bapak Camat Nangapanda bahwa Kerirea punya potensi menjadi desa Wisata Adat. Alasannya adalah bahwa di sana masih ditemukan warisan adat yang tua.Â
Beberapa warisan adat yang hidup sampai sekarang seperti: Nyanyian Jenda waktu panen padi di kebun. Nyanyian punya pesan persaudaraan dan kebersamaan warga suku melalui syair dan diksi pilihan yang terangkai secara indah.
Gerak simbolis yang sama dari semua orang terlihat dari langkah dan mimik wajah mereka. Mereka sedang menerima pemberian dari Pencipta karena itu mari kita puji dan sampai syukur kepada Tuhan.
Kalau penulis Vika Kurniawati mengatakan bahwa pemilihan bahasa simbol juga dimaksudkan agar menghindari potensi konflik yang dituturkan secara lisan, maka dalam konteks nyanyian Jenda, masyarakat suku menggunakan kata dan gerak untuk mengungkapkan gambaran totalitas hati mereka.Â
Ada lagi upacara Ka Uwi yang pada akhirnya ada tarian Gawi. Tarian adat Ende dengan aksen yang berbeda-beda. Tarian ini menyimpan pesan tentang kesatuan suku mereka, suku Paumere. Suku adat yang dengan sebutan Tana Uzu Watu Manu Eko Rakatupa.
Di dalam konteks suku Paumere, di sana ada hukum adat seperti tentang hukum terkait perkawinan Inses, Peza Pani dan hukum terkait mengambil barang milik orang lain, Bhetu Denda dan ritual tolak balak.
Masih banyak lagi ritual adat lainnya yang masih ada di sana, seperti tentang upacara pembuatan tiang utama rumah (Teka Mangu), upacara masuk rumah baru (nai Sao).Â