Kedisiplinan dan mentalitas respek pada makhluk hidup dan keselamatan perlu ditanamkan sejak dini dari rumah dan orangtua perlu merasa bertanggung jawab atas edukasi itu sendiri.
Sorotan tema tentang cerdas berlalu lintas oleh Kompasiana kali ini seakan membangunkan ingatan dan kenangan di beberapa negara di Eropa. Kenangan tentang cara pengemudi mengendarai kendaraan mereka di jalan umum.
Ternyata setiap negara berbeda, mentalitas dan kedisiplinan dalam berlalu lintas. Tidak bermaksud membanding-bandingkan satu negara dengan negara lainnya, sebenarnya hanya mau mengungkapkan kenyataan yang pernah dilihat sendiri.
Melihat kenyataan itu lalu mulai merefleksikannya, mengapa terjadi seperti itu?Â
Saya bersyukur karena kenyataan lalu lintas di Jerman ternyata cukup teratur dan tingkat kedisiplinan dan kesadaran pengendara cukup tinggi tentang pentingnya nilai keselamatan makhluk hidup.
Standar respek pada kehidupan merupakan standar utama yang harus diperhatikan. Umumnya, jika pengendara itu ceroboh di jalan, maka konsekuensinya selalu ganda, tidak hanya keselamatan orang lain akan terancam, tetapi juga keselamatan diri sendiri pun akan menjadi kritis.
Kedisiplinan yang ditanamkan sejak dini
Cerdas berlalu lintas bisa saja merupakan kualitas yang tidak datang begitu saja. Kualitas itu tumbuh dari latar belakang budaya manusia umumnya. Budaya bangsa yang menghormati keselamatan manusia, mungkin akan membentuk karakter manusianya menjadi lebih respek. Tentu saja ini bukan hanya semacam teori saja.
Di Jerman, rupanya orang dewasa akan dituntut keteladanannya di jalan. Apalagi berhadapan dengan anak kecil, orang dewasa harus menunjukkan kedisiplinan secara dewasa dan benar.
Misalnya, jika lampu merah, maka harus berhenti. Sebaliknya berlaku aturan jika di hadapan anak kecil, orang dewasa tetap tidak peduli meski lampu merah, maka bisa didenda (Strafe) bisa dengan bayaran tertentu.
Kenyataan seperti itu, tentu saja sangat baik agar anak-anak bisa belajar tentang hal yang benar sejak kecil. Dan umumnya orang tua selalu memberikan penjelasan kepada anak-anak mereka, mengapa mereka harus berhenti ketika lampu merah.
Inilah yang hemat saya, suatu bentuk edukasi nonformal yang sangat bagus dari orangtua kepada anak-anak mereka sejak dini. Tentu saja berbeda dengan mentalitas orangtua yang justru berbangga ketika melihat anak mereka bisa tidak peduli pada lampu merah dan menganggap anak-anak mereka sebagai pemberani.
Jadi sangat jelas bahwa peran orangtua dalam membentuk mentalitas anak sejak dini itu tidak tergantikan. Didikan orangtua sejak dini akan menjadi aset masa depan menjadi anak yang cerdas berlalu lintas.
Negara-negara yang belum cerdas berlalu lintas bisa jadi karena minimnya pendidikan kedisiplinan dan mentalitas respek pada orang lain yang ditanamkan sejak dini. Mari kita uji bersama.
Ketidakdisiplinan itu ada hubungannya dengan kompromi?
Ada beberapa negara yang menurut saya sangat berbahaya dalam berlalu lintas. Indonesia tentu saja merupakan salah satunya. Hal ini karena tidak ada ketegasan prinsip berapa jarak kendaraan satu dengan yang lainnya.Â
Sementara itu, tidak ada pemisahan jalur kendaraan roda dua dan roda empat atau selebihnya. Belum lagi soal tingginya muatan pada kendaraan tidak diatur secara baik.
Tampak sekali bahwa potensi kecelakaan dan bahaya dalam perjalanan menjadi sangat tinggi. Nah, kenyataan seperti itu saya alami di Jawa Timur. Perjalanan dari Malang ke Surabaya misalnya beberapa kali menyetir mobil, terasa sekali bahwa nyawa berada di ujung tebing.
Oh ternyata, kenyataan seperti itu di Jawa Timur itu tidak seberapa kalau dibandingkan dengan kenyataan di kota Medan. Di sana terasa cocok dengan ungkapan ini, "Ini baru medan bung."Â
Saya diberitahu oleh teman-teman asal Sumatera, kata mereka, "Di sini (Medan) yang penting moncongnya, siapa yang moncongnya lebih menjorok, maka dialah yang berhak maju."
Ternyata tidak cuma di Indonesia, di Perancis saja mirip sekali, bahkan terasa lebih mengerikan. Pada tahun 2019 saya pernah melintasi kota Paris. Pucat dan keringat melihat pengendara motor besar dengan kecepatan serta keberanian mereka untuk nyelonong.Â
Saya sempat mengingatkan sopir mobil kami supaya lebih pelan dan hati-hati. Tidak lama setelah peringatan saya, kaca spion mobil kami langsung ditabrak motor. Sangat jelas, di sana ada banyak pengendara yang tidak cerdas.Â
Tidak hanya di Perancis, tetapi juga di Palestina. Pada suatu sore bulan Desember 2019, kami berjalan kaki untuk berbelanja di pertokoan di Palestina. Ada lalu lintas kendaraan yang begitu tidak teratur di sana. Bukan cuma itu, pejalan kaki saja brutal menabrak perempuan secara kasar dan tidak sopan tanpa ada rasa bersalah.
Kendaraan bisa berbalik arah kapan dan di mana saja. Terasa sekali tidak beda jauhnya dengan di Flores dan beberapa kota lainnya.Â
Ya, itulah kenyataan yang bisa saja terjadi karena edukasi tidak jelas dilakukan sejak dini dan bisa saja karena kompromi yang tinggi dengan situasi dan pihak keamanan.
Lebih mengherankan saja lagi ketika pada 13 Mei 2022 lalu, tiba di kota Roma dengan kendaraan. Tidak terbayangkan bahwa kota Roma itu punya lalu lintas yang seperti itu, rancau dan ribut.Â
Rupanya prinsip moncong itu bukan cuma di Indonesia, tetapi di Roma juga ada. Siapa saja bisa putar balik arah mobilnya di mana saja dan kapan saja. Hal yang terpenting di kota Roma adalah klakson. Oleh karena itu, tidak heran, betapa ributnya saat sore hari di sana.
Sebagai akibatnya, pemandangan kota juga menjadi tidak menarik. Rasa nyaman pengendara dan pejalan kaki selalu di ujung tanduk. Mungkin berlebihan, tapi itulah kenyataan yang saya rasakan dan bisa saya lukiskan ketika berada di sana.
Sejenak saya bertanya pada beberapa orang Indonesia yang berada di Roma, mengapa pengemudi di sana seperti tidak peduli dengan kendaraan lain dan lampu lalu lintas?Â
Jawaban mereka sangat sederhana, kenyataan itu terjadi karena begitu banyaknya orang asing di sana. Benarkah orang asing itu tidak peduli aturan lalu lintas?
Pertanyaan dan jawaban di atas harus dikaji lebih jauh lagi. Asumsi saya adalah bukan soal orang asing atau orang pribumi, tetapi soal mentalitas dan kedisiplinan pribadi. Bisa juga seh tentunya berkaitan dengan disposisi batin seseorang.
Mentalitas kompromi itu saya perhatikan melalui kenyataan bahwa ketika yang lain melakukan keanehan dalam berlalu lintas, yang lainnya malah tertawa dan tidak merasa terganggu apa-apa. Ya, sebuah kompromi sosial yang berdampak bisa merusak tatanan umum lainnya.
Beberapa catatan pengalaman dan perjalanan di atas hanya mau menegaskan bahwa cerdas berlalu lintas itu tidak selalu otomatis lahir dari diri sendiri, tetapi merupakan proses formasi.
Oleh karena itu, dalam rangka tercapainya standar cerdas berlalu lintas, maka dibutuhkan beberapa hal ini:
1. Perlu adanya kursus muntir yang diatur secara formal oleh pemerintah.
2. Kursus harus diakhiri dengan bukti kelulusan ujian kompetensi prakteknya di lapangan
3. Perlunya pembatasan usia pengemudi dan usia mobil yang layakÂ
4. Perlu adanya pemberlakuan aturan jarak antara kendaraan
5. Sebisa mungkin perlu adanya pemisahan jalur kendaraan dan batasan tinggi muatan.
Pada prinsipnya, cara cerdas berlalu lintas itu tumbuh dari kesadaran dan proses edukasi yang sudah mulai dari rumah.Â
Respek pada kehidupan dan keselamatan merupakan hal penting yang harus ditanamkan kepada anak dan siapa saja.
Salam berbagi, ino, 4. 11.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H