2. Tetangga itu punya urusannya sendiri, tanpa ada kata gratis
Tetangga di Jerman tidak pernah menjadi penganggur. Kecuali satu tetangga yang adalah orangtua yang sudah pensiun. Tetangga kami yang satu itu memang unik. Dia bisa rutin memberi kami roti yang dibuat secara khusus setiap hari Sabtu.
Ceritanya ternyata dia adalah sahabat baik dari seorang teman saya. Saat teman kita ini meninggal dunia, roti pun berhenti dikirimnya. Tetangga bisa mendatangkan rezeki kalau kita mengenalnya dengan baik.
Tetangga kami punya usaha sendiri. Ada yang punya tempat kursus montir, ada yang sebagai dokter gigi dan tempat praktiknya. Ada pula yang punya sekolah tari. Namun, jika urusan bisnis, tetangga tetap harus bayar.
Wajah dan nama mereka saya kenal, tetapi rumah mereka saya belum pernah masuk. Cuma mereka pernah datang ke rumah kami. Kami sering mengundang mereka dalam berbagai kegiatan, tetapi sekali lagi mereka punya urusan sendiri.
Kesulitan kontak sehingga menjadi lebih akrab dengan tetangga itu, karena semua punya pekerjaan dan punya kesibukannya sendiri. Tapi, selama ini kami selalu baik dengan tetangga.
3. Tetangga itu berkualitas waktu ada bencana
Rasa ketetanggaan kami muncul saat gudang tetangga kami pernah ada kebakaran. Pada saat itu, kami semua keluar rumah dan membantu mengangkat barang-barang yang dibuang dari atas lantai dua rumah mereka.
Kami membantu menatanya di pinggir jalan, sehingga tidak menghambat pejalan kaki lainnya. Nah, pada waktu itu, terasa bahwa di sana ada kualitas hidup sebagai tetangga.Â
Di sana ada rasa simpati dan solidaritas. Pada saat itulah, kami menjadi punya banyak waktu untuk bercerita. Ya, bencana kadang membuat kita jadi akrab dengan tetangga.
Bencana kadang membuat kita mengerti apa artinya menjadi tetangga yang sebenarnya. Tetangga bukan soal jarak tempat tinggal paling dekat, tetapi pertama-tama soal jarak rasa hati kita dengan mereka yang susah.