Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada 3 Faktor yang Membuat Orang Salah Persepsi tentang Malas Jalan Kaki

14 Oktober 2022   02:20 Diperbarui: 14 Oktober 2022   22:38 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan kaki dan kesadaran hidup sehat | Dokumen pribadi oleh Ino

Pertimbangan untuk jalan kaki bisa saja beragam tergantung di mana orang itu hidup. Tentu saja, iklim, budaya dan kesadaran tentang pentingnya kesehatan punya hubungan erat dengan keputusan untuk jalan kaki.

Tema tentang "Orang Indonesia paling malas jalan kaki" memang tema yang sangat menarik untuk dikaji. Penelitian ilmiah apa pun hingga sampai pada konklusi bahwa orang Indonesia itu malas jalan kaki, bisa saja sampai pada kajian tentang hubungan antara malas jalan kaki dengan faktor-faktor lainnya.

Tema yang sama sudah sering jadi bahan cerita saya ketika pulang libur ke Indonesia. Meskipun demikian, saya semakin menyadari bahwa tema "jalan kaki" sebenarnya bukan saja sekedar soal jalan kaki, tetapi terkait dengan latar belakang budaya, iklim dan tentu saja berkaitan dengan kesadaran tentang hidup sehat.

Kajian-kajian kecil ketika tinggal di Jerman dan beberapa kali liburan, telah membentuk pemahaman saya untuk tidak mudah menuduh seakan seakan orang Indonesia itu malas jalan kaki tanpa melihat alasan dan hubungannya dengan yang lain.

Ketika saya lihat dan kaji lebih jauh lagi, saya menemukan ada 3 faktor yang membuat orang salah persepsi tentang malas jalan kaki.

1. Faktor hubungan antara jalan kaki dan iklim tropis

Apakah orang Eropa rajin jalan kaki kalau mereka tinggal di daerah dengan lingkungan dan hawa panas lebih dari 30 derajat Celcius? Nah, tunggu dulu. Sewaktu kuliah dulu. Saya mengenal sekurang-kurangnya ada 3 dosen orang Eropa. 

Seorang Polandia, seorang dari Jerman dan orang Inggris. Saya benar-benar jarang melihat ketiganya berjalan kaki? Paling sering saya melihat bahwa mereka menggunakan sepeda dan sepeda motor.

Nah, pertanyaannya, mengapa? Bung, di Flores, khususnya Maumere, kalau nekat jalan kaki, maka telapak kakimu akan melepuh dan terbakar karena suhu yang ekstrim panas.

Jalan kaki di saat musim panas | Dokumen pribadi oleh Ino
Jalan kaki di saat musim panas | Dokumen pribadi oleh Ino

Zaman itu, saya suka jalan kaki, cuma bukan karena hobi atau alasan kesehatan, tetapi karena tidak punya uang untuk menggunakan bemo kota. Sedangkan kebanyakan tidak suka jalan kaki karena suhu panas.

Di Eropa, otomatis saya suka jalan kaki, karena beberapa alasan ini:

1. Suhunya yang sejuk

2. Tempatnya rata dan bersih

3. Lingkungannya aman

Tiga faktor itu, sebenarnya berbanding terbalik dengan apa yang ada di Indonesia umumnya. Dari situ, saya yakin kalau orang Eropa tahu bahwa di Indonesia punya risiko besar ketika berjalan kaki, maka sudah pasti tidak banyak yang jalan kaki.

Orang Eropa lebih memikirkan keselamatan, keamanan dan kesehatan dan bukan celaka. Tentu, prinsip ini sedikit berbeda dengan orang Indonesia, yang kadang mengenal ucapan "ada pasukan berani mati," maksudnya mereka kurang memperhitungkan keselamatan. 

Kenyataan yang menarik dalam kajian saya terakhir adalah pada bulan Juni sampai pertengahan Juli 2022. Ketika Eropa dilanda panas sampai dengan 40 derajat Celcius, saya justru melihat teman-teman saya tidak lagi berjalan kaki, bahkan mereka jarang keluar rumah.

Ritme hidup mereka mulai berubah, karena mereka takut kepanasan. Dari pengamatan itu, saya sih lebih melihat hubungan kesukaan orang berjalan kaki itu terkait erat dengan suhu udara di suatu tempat.

Logisnya bahwa tidak sehat jika orang berjalan kaki ketika suhu udara berkisar dari 30 derajat dan selebihnya. Mana ada yang mau? Keringat luar biasa, panas membakar kulit dan wajah.

2. Faktor hubungan antara Jalan kaki dan budaya masyarakat tradisional

Dalam suatu kajian pribadi, saya akhirnya menyalahkan diri sendiri ketika suatu saat saya berusaha menyakinkan orang di kampung saya bahwa mereka tidak kritis. Pasalnya mereka paling tidak suka berjalan kaki.

Masak sih, mengunjungi tetangga yang jaraknya cuma 50 meter itu harus menggunakan sepeda motor? Semula saya tidak mengerti dan bahkan saya pernah mengatakan bahwa itu adalah kebodohan.

Jalan bagi masyarakat tradisional | Dokumen pribadi oleh Ino
Jalan bagi masyarakat tradisional | Dokumen pribadi oleh Ino

Setelah itu , saya berusaha melihat lebih jauh lagi dan saya menyadari bahwa ternyata ada hal lain yang tersembunyi dibalik pilihan seperti itu.

Mengurangi jalan kaki ternyata adalah suatu bentuk dari pencapaian mereka yang sekian tahun merangkak dalam keterbelakangan. Mereka punya kerinduan untuk menggantikan pilihan yang tidak terhindarkan itu.

Tidak heran ketika mereka bisa mencapainya, maka mereka menikmati itu dengan bangga. Perspektif itu hanya bisa dipahami dari sisi mereka dan buka dari saya dan tentu yang lainnya yang tidak pernah hidup di desa.

Saya bersyukur karena saya berasal dari latar belakang yang sama dengan mereka, sehingga saya bisa memahami apa sih kerinduan mereka, sehingga mental mereka jadi seperti itu.

Berjalan kaki bagi mereka adalah simbol dari ketertinggalan zaman. Kalau usia saya, maka bisa dikatakan seperti ini, sudah cukup bagi kami berjalan kaki selama 30 tahun, sekarang kami sudah menang dan bisa menikmati teknologi.

Ini soal pemahaman dan dan latar belakang pemikiran masyarakat tradisional yang berada di dalam ruang transisi budaya kuno dan budaya modern.

Latar belakang dan pemahaman budaya itu secara otomatis membentuk pola pikir keseharian mereka, hingga berpikir seperti ini: Jalan kaki? Oh bukan zamannya lagi. Belum lagi, untuk mereka berjalan sendiri tanpa tujuan, seperti sekedar jogging itu adalah hal aneh. 

Tidak ada dalam konsep berpikir mereka tentang jalan tanpa tujuan, selain ke kebun atau memindahkan ternak mereka. Jadi, adalah suatu pemandangan yang unik dan aneh, ketika orang "jalan kaki" dalam arti untuk kesehatan.

Tema jalan kaki untuk kesehatan bagi mereka itu sudah otomatis ketika mereka pada pagi hari meninggalkan rumah mereka lalu berangkat ke kebun dan mencari nafkah hidup mereka.

Orang Indonesia malas jalan kaki? Oh tunggu dulu, mungkin saja kajian itu hanya untuk beberapa tempat saja. Ada pembuktian saya: Saya membawa satu jam digital yang bisa menghitung langkah kaki secara otomatis.

Jam tangan itu saya berikan kepada saudara saya. Apa yang terjadi? Setiap hari dia mencapai lebih dari 10.000 langkah. Mengapa? Setiap hari ia selalu ke kebun dan memindahkan ternak sapi dan urusan yang lainnya. 

Rutinitas serupa adalah rutinitas umumnya dari masyarakat tradisional yang hidup mereka bersandar sepenuhnya pada hasil usaha pertanian dan peternakan.

Hal seperti itu dimungkinkan karena lingkungan dan alamnya mereka di sana yang sejuk, ada banyak pohon yang rimbun dan udaranya yang segar. Orang bisa rajin jalan kaki, kalau didukung dengan tata lingkungan dan jalan yang bagus.

3. Faktor hubungan antara Jalan kaki dan kesadaran hidup sehat

Pembahasan terkait jalan kaki dan kesadaran hidup sehat memang bukan merupakan tema orang-orang di desa. Kesadaran tentang hubungan antara keduanya, harus diakui muncul di kalangan orang Eropa. Tentu saja sebagian orang Indonesia punya kesadaran itu, akan tetapi bisa jadi belum merupakan kesadaran umumnya untuk orang-orang yang bermukim di kota.

Jalan kaki dan kesadaran hidup sehat | Dokumen pribadi oleh Ino
Jalan kaki dan kesadaran hidup sehat | Dokumen pribadi oleh Ino

Jalan kaki dalam konteks ini sebenarnya bukan sebagai suatu kebiasaan, tetapi lebih sebagai suatu pilihan yang sadar. Orang berjalan kaki karena menyadari bahwa melalui jalan kaki itu, tubuh akan menjadi lebih sehat. Ada sejumlah kalori yang dibakar saat keringat.

Kesadaran seperti itu, tentu saja menjadi aneh, kalau dilihat dari sudut pandang masyarakat adat yang setiap hari pasti berjalan. Mereka berjalan kaki, bukan lagi sebagai suatu pilihan, tetapi suatu kebiasaan. Tidak heran, jarang mereka melihat ada hubungan antara berjalan kaki dengan cara hidup sehat.

Dalam hal ini, tetap saja penting untuk melihat hubungan antara keduanya. Jalan kaki harus disadari ada hubungannya dengan hidup sehat. Masyarakat kita perlu disadarkan terkait hubungan ini.

Saya masih ingat akan cerita teman serumah di Jerman. Ia punya kebiasaan sudah lebih dari 5o tahun, setiap selesai makan siang ia berjalan kaki 15 menit. Katanya, "das ist gut für Verdauung" atau itu bagus untuk pencernaan. Benar gak sih? Tentu hanya dokter yang bisa menjawabnya.

Tapi, hal yang nyata sekarang dia sudah berusia 84 tahun , terlihat masih sangat fit. Semua hal masih bisa dilakukannya sendiri (Solo Selfständig). Berapa banyak orang tua kita yang berusia 84 tahun masih bisa berjalan tanpa kursi roda dan semuanya bisa diurus sendiri? Teman saya itu bahkan masih bisa bekerja di perpustakaan seperti, menata buku di lemari dan memindahkan buku dan koran lainnya.

Pada prinsipnya, saya mau mengatakan bahwa alasan mengapa orang malas jalan kaki bukan semata-mata karena dia orang Indonesia yang malas, tetapi ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti terkait soal suhu udara, iklim, budaya dan juga kesadaran pribadi tentang pentingnya kesehatan.

Salam berbagi, ino, 14.10.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun