Temukan cara yang meredam agresivitas melalui kemajuan teknologi metaverse zaman kita. Nobar di layar lebar aja bro, daripada nyawa melayang.
Sorotan tema Kompasiana kali ini menyapa begitu banyak orang untuk berpikir bagaimana caranya agar hiburan sepak bola benar-benar hiburan yang aman.Â
Hiburan sepak bola sebenarnya di mana saja tetap saja tidak aman, kecuali di beberapa negara di Eropa yang mungkin saja entah karena tingkat sanksi dan pengamanannya tinggi dan juga bisa karena kesadaran manusia tentang betapa berharganya manusia.
Tulisan ini tentu saja berangkat dari tragedi sepak bola Arema Vs Persebaya yang akhirnya menuai korban dan kritikan dari berbagai negara.
Sepak bola Indonesia memang sama sekali tidak terkenal di Eropa tentu saja, akan tetapi fenomena tentang agresivitas suporter akhirnya menjadikan sepak bola Indonesia begitu terkenal.
Sudah tiga hari ini saya mendengar berita tentang sepak bola Indonesia yang akhirnya memakan korban itu di radio Jerman. Umumnya radio Jerman memberitakan hal-hal yang benar menarik seperti berita tentang bencana di Indonesia.
Namun kali ini sedikit bergeser temanya, bukan lagi tentang bencana alam, tetapi soal bencana kemanusiaan. Ya, negeri kita sedang krisis dalam menghormati nilai kemanusiaan.
Memang siapa saja dan kapan saja bisa meninggal dunia, tetapi perasaan tentang kapan saja dan di mana saja bisa meninggal atau terkena bahaya muncul begitu kuat ketika bepergian di Indonesia.
Nah, saat ini sudah menjadi kenyataan bahwa orang bisa meninggal dunia begitu banyak di lapangan sepak bola. Lapangan sepak bola yang cuma dikenal sebagai tempat olahraga demi kesehatan fisik manusia, kini akhirnya jadi sumber bencana kemanusiaan.
Tentu saja bukan soal bencana kemanusiaan karena meninggalkan begitu banyak orang itu, tetapi lebih dari itu tentang bagaimana kesan orang tentang brutalitas suporter di sana.
Ternyata riwayat sepak bola yang kejam dan seram itu tidak hanya terjadi di Flores, tetapi juga di Jawa dan bisa saja di mana di seluruh Indonesia.