Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Ada 3 Solusi Menepis Quiet Quitting dan Quiet Firing

23 September 2022   13:42 Diperbarui: 24 September 2022   09:30 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Loyalitas dan kualitas kerja tidak bisa begitu saja dimiliki tanpa proses pengolahan, pembinaan dan proses internalisasi.

Kejenuhan dunia kerja, perubahan iklim global, perang, dan berbagai berita setiap hari tanpa disadari dapat mempengaruhi stamina dan gairah kerja seseorang.

Fenomena quiet quitting dan quiet firing tentu saja tidak terlepas dari beberapa pengaruh intern dan ekstern. Pengaruh intern bisa saja karena situasi dan komunikasi di dalam perusahan, sedangkan situasi ekstern bisa saja karena keadaan umum, situasi dunia saat ini.

Tulisan ini lebih menyoroti soal perlunya semangat dan kesadaran baru berhadapan dengan quiet firing sehingga relasi dan komunikasi di dunia kerja kembali pulih dan juga tingkat kepercayaan atasan dan bawahan bisa menjadi lebih harmonis.

Ada beberapa kesadaran ini yang harus dikembalikan untuk menepis quiet firing:

1. Kesadaran tentang kerja berkualitas dan bukan soal kuantitas

Situasi di dunia kerja tentu saja hanya diketahui oleh orang yang bekerja di perusahaan. Oleh karena itu baik itu quiet quitting dan quiet firing sebenarnya soal itu sudah terlihat jelas.

Persoalannya adalah bahwa munculnya rasa antipati dan bahkan dalam keadaan tertentu hilang harapan untuk mencari solusi. Pimpinan perusahan bisa saja jenuh berhadapan dengan karyawan yang hidup dengan mental quiet quitting.

Hal yang perlu disadari adalah bahwa quiet quitting tidak harus dibalas dengan quiet firing. Mengapa? Jika logikanya hanya dengan balas membalas, maka iklim kerja tidak akan berubah, bahkan semakin memperkeruh suasana kerja.

Oleh karena itu, pimpinan perusahaan mesti punya keberanian untuk menempuh inisiatif baru supaya bisa keluar dari situasi itu. Tentu saja ada banyak yang bisa menjadi solusi untuk keluar dari fenomena quiet quitting dan quiet firing.

Kualitas dan loyalitas kerja, 3 solusi terhadap Quiet Firing | Dokumen diambil dari Utopia.de
Kualitas dan loyalitas kerja, 3 solusi terhadap Quiet Firing | Dokumen diambil dari Utopia.de

Beberapa cara itu antara lain: 

  • Perlunya kegiatan outbond dengan tema tertentu seperti kualitas dan loyalitas

  • Perlunya kegiatan seperti seminar akhir pekan yang membahas tentang disiplin kerja dan komunikasi yang berkualitas

  • Perlunya kegiatan kerohanian seperti mengundang tokoh agama yang bisa memberikan ceramah dan permenungan terkait komunikasi di dunia kerja, kualitas dan loyalitas.

2. Menumbuhkan grad loyalitas kerja

Loyalitas dan kualitas kerja hanya bisa dinaikan gradnya kalau orang itu mengerti betapa pentingnya tuntutan kualitas dan loyalitas dalam dunia kerja itu sendiri.

Kualitas dan loyalitas kerja itu merupakan dua hal yang selalu menjadi mimpi besar dari pimpinan perusahan. Tentu saja, masih ada hal-hal lainnya seperti kejujuran, kedisiplinan, kebersihan, keteraturan. Ya, semua hal baik, tentu penting dalam konteks dunia kerja.

Bagaimana caranya orang tahu grad atau suhu kerja itu sendiri? Nah, cara untuk mengetahuinya tentu saja melalui format evaluasi. Pemilik perusahan dan juga pimpinan atau manajer perusahaan perlu membuat evaluasi anonim untuk melihat dan mengetahui kondisi secara umum dan kondisi riil pada setiap sub bagian dari perusahaan.

Bagaimanapun juga evaluasi tertulis atau online itu tetap merupakan satu cara yang juga terbuka terhadap cara-cara lainnya seperti metode pendekatan pribadi.

Metode "Emaus" atau orang diajak untuk berbicara empat mata bisa sangat efektif dalam menemukan inti persoalan. Membangun keterbukaan dalam hal ini juga adalah usaha membangun kepercayaan.

Oleh karena itu, perlu adanya kesempatan untuk berbicara secara pribadi dengan kepala sub bagian dan beberapa karyawan supaya sebagai manager misalnya bisa mengetahui dengan jelas mengapa ada fenomena quiet quitting di perusahaan.

Hal yang juga penting diketahui oleh pimpinan adalah bahwa tidak semua pembicaraan empat mata yang serius itu adalah momen yang efektif dan berkualitas. 

Nah , dari situ sebenarnya sangat diperlukan suasana santai atau locker, di mana orang bisa bercanda sambil makan makanan ringan di mana saja. Intinya adalah menciptakan suasana santai dan rileks lalu bisa berbicara perlahan-lahan sampai ke suasana batin perorangan.

3. Perlunya kerendahan hati agar suasana baru bisa berubah

Poin tentang kerendahan hati ini bisa berfungsi dua arah. Seorang pimpinan perusahan bisa juga harus bersikap humble untuk menyapa dan bertanya kepada karyawan dan bawahannya tanpa segan-segan, bahkan perlu memberikan perhatian dan hadiah sepantasnya.

Demikian juga humble itu sangat perlu juga dari karyawan dan bawahan. Coba dibayangkan betapa susahnya mencari pekerjaan saat ini. Oleh karena itu, sebenarnya adalah sebuah syukur jika sudah bisa bekerja.

Apa yang akan terjadi ketika quiet quitting itu dibalas tidak dengan quiet firing tetapi dengan mengeluarkannya dari perusahan, tentu merupakan malapetaka besar bukan?

Nah, oleh karena siapa saja perlu memiliki spiritualitas kerendahan hati dan bersyukur yang perlu dilengkapi dengan gairah kerja yang sungguh-sungguh jujur dan berkualitas.

Tanpa ada kesadaran itu, maka suasana beku dan ruwet di perusahan tidak akan berubah, bahkan bisa saja akan semakin buruk. Dai kesadaran itulah, sebenarnya orang tetap bersyukur memiliki pekerjaan dan bersikap humble itu bisa menjadi suatu peluang untuk dipromosikan ke posisi yang lebih penting.

Posisi akan berubah, jika kualitas diri pribadi, loyalitas kerja, humble itu terlihat jelas dalam diri seseorang. 

Beberapa catatan itu, akhirnya merujuk pada kesimpulan bahwa tidak harus bahwa quiet quitting itu dibalas dengan quiet firing, tetapi orang perlu mencari jalan lain berupa:

Salam berbagi, ino, 23.09.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun