Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Tua Sebelum Kaya, Makna Imperatif dan Tantangan Kemandirian Hari Tua

18 Juni 2022   18:10 Diperbarui: 24 Juni 2022   18:37 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kelompok usia produktif dihadapkan dengan situasi yang kian menyulitkan. Persaingan kerja yang kian ketat, mahalnya biaya hidup, tingginya suku bunga, jurang kesenjangan yang melebar, iklim usaha yang sulit, hingga menjadi beban sandwich generation. Ditambah lagi problem kesehatan yang menghantui. Foto: KOMPAS/ALIF ICHWAN

Keseimbangan konsep tentang kemandirian hari tua, kesehatan fisik dan psikis perlu dipertimbangakan secara baik dalam kaitannya dengan regulasi dan sistem yang mendukung masa depan generasi muda Indonesia.

Tema sorotan Kompasiana kali mungkin bisa dikatakan paling menantang dan menarik. Indonesia memang sedang berhadapan dengan konteks bangsa yang kompleks persoalannya, bukan saja soal angkatan usia kerja yang banyak, tetapi juga tentang jaminan hari tua, dan tentu banyak lagi di dalamnya termasuk masalah kerja dan sistem yang memberikan jaminannya.

Tema yang disoroti dalam bentuk ungkapan provokatif itu tentunya sangat menarik untuk dianalisis lebih jauh lagi, "Jangan tua sebelum kaya". Muncul pertanyaan apa yang tersembunyi dibalik ungkapan itu?

Tulisan ini fokus dalam membongkar makna ungkapan "jangan tua sebelum kaya" dan hubungannya dengan kemandirian hari tua. Ada beberapa maknanya:

1. Makna imperatif sosial-ekonomi

Makna yang penting ditelusuri lagi adalah tersimpan pada kata "jangan"! kata "Jangan"! sebetulnya ada dalam bentuk imperatif, namun menariknya bahwa pesan imperatif itu tidak datang dari pemerintah atau juga bukan dari hukum agama.

Lalu kira-kira dari mana ungkapan seperti itu bisa muncul? Penggagas ungkapan itu bisa saja punya kemampuan membaca kenyataan dunia saat ini yang memang menuntut seseorang untuk meraih mimpi selama masa mudanya dengan menjadi mapan.

Makna imperatif itu tidak terlepas dari pesan imperatif bebas yang diarahkan kepada siapa saja. Oleh karena itu, pesan imperatif itu bernuansa sosial - ekonomi. Oleh karena bernuansa sosial-ekonomi, maka bisa saja dibaca dan dipahami secara beragam.

Secara positif bisa dipahami bahwa ungkapan itu adalah sebuah tutur motivasi yang bagus agar generasi muda yang berada pada usia produktif berani menata masa depan mereka sejak dini secara baik dan matang.

Bagaimana menata kehidupan yang matang sejak dini:

  1. Pilihan mata kuliah yang tepat sesuai minat pribadi dan juga aktual saat ini.

  2. Dukungan finansial orang tua mesti direncanakan sejak awal.

  3. Pendidikan keluarga yang baik tentang kemandirian dan masa depan anak yang sudah bisa dibicarakan di dalam rumah masing-masing.

  4. Tema tentang prioritas hidup dan kemandirian mesti dibicarakan pula sejak dini.

2. Makna kekerasan psikologis di era persaingan ekonomi modern

Ungkapan"Jangan tua sebelum kaya" tidak hanya positif untuk memotivasi orang muda supaya lebih siap menyongsong masa depan mereka, tetapi juga ada bahaya bahwa bagi sebagian orang yang tidak didukung oleh pendidikan yang baik, modal finansial dari orangtua yang cukup, pemahaman dan wawasan yang luas.

Bahaya dari ungkapan "Jangan tua sebelum kaya" itu adalah bahwa tekanan psikologis menjadi sangat tinggi. Apalagi ketika seseorang sudah bekerja, tetapi ternyata gajinya tidak cukup untuk disisihkan sebagai jaminan hari tua (JHT).

Saya percaya bahwa ketika situasi dan cara berpikir masyarakat jauh didominasi oleh ungkapan "Jangan tua sebelum kaya", maka tidak sedikit generasi muda yang dilanda oleh kecemasan, ketakutan dan bisa saja depresi.

Tidak hanya itu, tentunya muncul mentalitas yang hanya memperhatikan diri dan masa depannya saja. Ya, egoismus akan mencapai puncak kejayaannya pada saat itu.

Bagaimana ia  bisa berbagi dan bersedekah dengan orang lain, kalau pikirannya sehari-hari cuma untuk menjadi kaya" Sebagian orang hidup dalam keyakinan bahwa berbagi dan memberi pasti akan menjadikan kantong menipis. Ya, bagaimana masa depan?

Sangat mungkin bahwa persaingan dalam konteks dunia kerja menjadi sangat kental dan keras. Coba bayangkan apa jadinya dengan sekelompok orang muda yang sudah sarjana, namun tidak punya lapangan pekerjaan? Belum lagi usia mereka sudah mencapai 35 tahun sampai 40 tahun?

Ungkapan "Jangan tua sebelum kaya" untuk para penganggur adalah racun. Mereka ingin bekerja, tetapi tidak punya peluang. Bagaimana caranya supaya menjadi mapan sebelum usia tua dan punya jaminan hari tua yang cukup.

Tantangan pemerintah Indonesia saat ini terkait jaminan hari tua

Ungkapan "Jangan tua sebelum kaya" dalam dua makna di atas bisa dikendalikan hingga mencapai titik keseimbangannya, jika pemerintah Indonesia peduli dan serius menanggapi masalah jaminan hari tua generasi muda saat ini.

Regulasi dan sistem jaminan hari tua (JHT) rasanya sangat penting agar di negara yang makmur dengan semboyan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini tidak terlihat seperti merana di tengah kelimpahan.

Jangan tua sebelum kaya, makna imperatif dan tantangan kemandirian hari tua | Dokumen pribadi oleh Ino
Jangan tua sebelum kaya, makna imperatif dan tantangan kemandirian hari tua | Dokumen pribadi oleh Ino

Ada beberapa tantangan yang mesti ditanggapi serius pemerintah kita saat ini:

  1. Bagaimana caranya membuka lapangan pekerjaan sebanyak mungkin dan secara merata di seluruh negeri ini, sehingga kelompok usia produktif bisa bekerja.

  2. Pemerintah perlu menciptakan regulasi dan sistem yang mengatur soal jaminan hari tua untuk semua rakyat Indonesia.

  3. Tidak hanya soal jaminan hari tua, tetapi di tengah persaingan ekonomi itu, jaminan kesehatan masyarakat perlu disiapkan secara baik.

  4. Karya pelayanan dibidang pendampingan psikologis tentu akan sangat dibutuhkan.

  5. Bagaimana bisa menyalurkan bentuk pendidikan terkait manajemen keuangan dan perencanaan belanja keluarga 

Tema "Jangan tua sebelum kaya" akan benar-benar menantang bangsa Indonesia saat ini. Tema ini bukan lagi sebuah mimpi dan utopia, tetapi suatu kenyataan yang sudah di depan mata.

Bagaimana bisa ditata semuanya dengan baik, jika dalam perjalanan waktu krisis, resesi ekonomi dan inflasi tidak bisa dihindari? Seruan untuk waspada dalam nada imperatif seperti "Jangan tua sebelum kaya" bisa saja sangat penting supaya generasi muda Indonesia tidak lelap dalam tidur malas tanpa perencanaan (Planung) masa depan.

Tetapi juga pemerintah perlu turun tangan berkaitan dengan angka pengangguran di negeri ini, supaya angkatan usia kerja produktif itu tidak terseret ke dalam makna kekerasan psikologi dan tekanan sosial-ekonomi yang tanpa ampun.

Kerja sama semua pihak untuk mendukung pemerintah tentu sangat positif dalam ranah merancang sistem dan regulasi terkait jaminan hari tua, perubahan dan perencanaan masa depan anak bangsa ini yang lebih baik dan mandiri.

Salam berbagi, ino, 18.6.2022.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun