Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Dilema Masyarakat Desa antara Keterbatasan Dokter dan Kemudahan Membeli Obat di Apotek

29 Mei 2022   04:07 Diperbarui: 29 Mei 2022   10:05 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin Covid-19 kepada warga lansia di Desa Sukanagalih (KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG)

Indonesia membutuhkan akses pelayanan kesehatan masyarakat yang merata dan sesuai dengan perkembangan zaman. Tawaran konsultasi online semestinya perlu dibuka kemungkinan itu sampai kepada masyarakat desa dengan dokter terdekat.

Tema tantangan mbak Irmina Gultom menurut saya sangat aktual dan menarik. Ketika membaca tema tentang "Bagaimana Kebiasaan Keluargamu Mengonsumsi Obat" pikiran saya langsung terarah kepada konteks masyarakat desa di Flores.

Tema tentang kebiasaan keluarga mengonsumsi obat, membeli obat, bagaimana berurusan dengan obat-obatan itu tema keseharian yang memang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi yang berada di desa-desa. 

Dalam konteks Indonesia umumnya dan secara khususnya untuk masyarakat pedesaan yang jauh dari pelayanan dokter dan juga jauh dari keterbukaan kemungkinan informasi terkait dunia farmasi menjadi semacam momen untuk membuka diskusi dan berbagi gagasan yang penting terkait kesehatan.

Tulisan ini mengangkat soal dilema masyarakat desa antara keterbatasan dokter dan kemudahan membeli obat-obatan di apotek. 

Ada 3 dilema yang perlu diperhatikan pemerintah terkait konsep masyarakat desa tentang obat-obatan dan kesehatan mereka:

1. Umumnya pelayanan dokter untuk masyarakat desa sangat terbatas

Pelayanan langsung dari dokter untuk masyarakat desa bisa dikatakan hanya bisa terlaksana di Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) yang selalu berada di kecamatan. Seakan-akan ada suatu tata aturan formal bahwa di mana Puskesmas itu berada di situ menetaplah para dokternya.

Tentu sah-sah saja atau tidak ada yang berani protes, apalagi dokter swasta. Cuma kendalanya bahwa berapa jarak masyarakat desa dari tempat tinggal mereka ke Puskesmas.

Sentralisasi pelayanan kesehatan selama ini terasa dimengerti dan diterima karena situasi kekurangan tenaga dokter. 

Tidak hanya itu, tenaga dokter itu sudah berkurang, belum lagi tidak ada ruang terbuka seperti konsultasi online dengan dokter di wilayah Puskesmas.

Kendala keterbelakangan seperti itulah yang tanpa disadari telah mempengaruhi mentalitas masyarakat desa untuk memutuskan sendiri obat apa yang mau dibeli dan, apalagi ada kemudahan membeli di apotek.

2. Apotek Indonesia bisa melayani pembelian obat-obatan tanpa resep dokter

Fenomena membeli dan mengonsumsi obat di rumah tanpa resep dokter bisa jadi merupakan kenyataan umum yang dialami sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tanpa mengambang dari kenyataan, saya sendiri pernah mengatakan dengan tegas kepada orang-orang yang saya di desa saya untuk hentikan kebiasaan membeli obat tanpa berkonsultasi sebelumnya dengan dokter.

Tahun lalu saya pernah mengatakan, "Saya tidak bisa mengerti, kalian membeli obat sendiri tanpa ada hasil diagnosa dokter, apakah kalian sudah menjadi dokter?"

Tahukah bahwa ketika kita mengonsumsi obat yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh dan sesuai ukuran yang secukupnya dapat merusak kesehatan kita? Bagaimana obat itu baik dan berguna, tetapi semua obat itu telah diproses melalui proses kimia.

Sejak saat itu mereka berhenti membeli langsung di apotek, kecuali terkait vitamin. Nah, inilah yang sering menyeret masyarakat desa ke situasi dilematis. 

Mereka ingin supaya penyakit mereka segera sembuh, namun untuk mendapatkan informasi, konsultasi dan pemeriksaan dari seorang dokter, pasti harus membutuhkan jam tertentu, harus antrian dan lain sebagainya.

3 dilema masyarakat desa antara keterbatasan tenaga dokter dan kemudahan memeli obat di apotek | Dokumen diambil dari lifepack.id
3 dilema masyarakat desa antara keterbatasan tenaga dokter dan kemudahan memeli obat di apotek | Dokumen diambil dari lifepack.id

Birokrasi dalam dunia pelayanan kesehatan masih terasa rumit khususnya bagi kebutuhan pelayanan masyarakat desa. Sampai kapan suasana seperti itu berubah?

Perubahan dunia pelayanan kesehatan kita baru bisa terjadi kalau wawasan pelayanan kesehatan itu juga berubah. Para dokter menyadari bahwa pelayanan yang prima dengan pengabdian yang tulus mesti ada. 

Gaji untuk tenaga kesehatan barangkali harus diperhitungkan agar jaminan pelayanan menyentuh hati dan berjalan dengan baik. 

Peran di balik harapan masyarakat ini tentunya pemerintah. Pemerintah perlu juga mengevaluasi sistem pelayanan kesehatan masyarakat. 

Di dunia kemajuan teknologi seperti saat ini, mestinya di mana perlu ada sistem pelayanan konsultasi online, sehingga memungkinkan masyarakat mendapatkan resep obat.

3. Masyarakat menghafal gejala tubuh mereka dan memutuskan sendiri jenis obat apa yang harus dibeli dan dikonsumsinya

Kesederhanaan cara hidup dan cara masyarakat desa merawat kesehatan mereka memang tidak bisa dipahami oleh nalar umumnya, namun itulah kenyataannya. 

Kendala kekurangan tenaga pelayanan kesehatan di satu sisi, dan biaya kesehatan di sisi lain dari zaman dulu membentuk cara pikir mereka bahwa semuanya bisa mandiri.

Tentu pola pikir seperti itulah yang perlu diubah dan diberikan edukasi yang cukup agar konsep tentang konsultasi dokter dan pelayanan kesehatan yang tepat dan benar bisa dimiliki masyarakat desa hingga ditempatkan sebagai prioritas.

Pemerintah tentu perlu punya andil untuk menata kebijakan yang penting terkait sistem penjual obat-obatan di Indonesia. 

Ya, pemerintah perlu menentukan dengan tegas, mana obat yang dibeli harus dengan menggunakan keterangan dokter dan mana yang tidak perlu keterangan dokter.

Ketidakjelasan pegangan dan prinsip pelayanan kesehatan di desa-desa itulah yang membuka kemungkinan bagi masyarakat secara salah dalam menentukan keputusan terkait cara mereka mengonsumsi obat.

Obat seperti barang yang bisa dicari kapan saja saat mereka membutuhkannya. Tentu bagus kalau masyarakat semakin dimudahkan dalam memperoleh pelayanan kesehatan, tetapi orang tidak boleh melupakan proses edukasi yang benar terkait cara-cara praktis mengonsumsi obat.

Oleh karena itu ada beberapa hal ini yang penting dilakukan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat desa sendiri:

  1. Berkonsultasilah dengan dokter setiap kalian merasa ada perubahan kesehatan atau pada saat kalian membutuhkan obat tertentu.
  2. Jangan membeli dan mengonsumsi obat sesuka hati.
  3. Mari bangunkan suatu sistem pelayanan online sekurang-kurangnya jasa konsultasi sampai ke desa-desa.

Penggunaan obat tidak akan berdampak buruk bagi masyarakat, jika semua itu melalui jalur konsultasi yang baik dengan dokter. 

Peduli terhadap pemahaman masyarakat yang keliru perlu ditanggapi secara serius melalui ruang edukasi kesehatan yang tepat dan benar, bukan saja kepada tenaga-tenaga kesehatan di desa-desa, tetapi juga kepada masyarakat sendiri dan juga kepada pemilik apotek.

Salam berbagi, ino, 29.05.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun