Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar dari Gebrakan Metaverse Jerman untuk Pendidikan di Indonesia

6 April 2022   03:15 Diperbarui: 6 April 2022   20:13 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kuliah di Luar Negeri (Jacob Ammentorp Lund)

Anak bangsa kita belum terlambat untuk hidup dalam kancah Metaverse. Mari kita dukung dengan gagasan-gagasan positif demi kemajuan bangsa kita sendiri. 

Jagat dunia maya mengenal istilah metaverse sekurang-kurangnya di saat dunia dilanda pandemi covid 19.

Di bawah nama baru metaverse, manusia membangun komunikasi tanpa batas. Kata metaverse bisa saja terbentuk dari dua kata meta dan verse. 

Meta dalam bahasa Latin berarti tujuan (Ziel), batas (Grenzen) dan akhir (Ende). Sedangkan verse dalam bahasa latin berarti fegen, kehren tetapi dalam bentuk partizip perfekt passiv berarti telah disapu/diseret secara luas. 

Dari penelusuran ini tampak bisa dihubungkan dengan kata metaverse secara etimologis dari Neal Stephenson pada tahun 1992 yang disebut dalam novel viksinya, Snow Crash. 

Istilah itu bisa dimengerti sebagai ruang digital yang konsisten dan persisten yang diciptakan oleh konvergensi virtual. (bdk. Wikipedia.org).

Kalau melihat lebih jauh lagi pemahaman istilah metaverse ke dalam realitas sosial, tampaknya bahwa dunia metaverse hadir bersamaan dengan istilah-istilah lainnya seperti viral yang berarti tersebar secara luas dalam waktu singkat. 

Bahkan bersamaan dengan kemajuan jejaring sosial muncul pula istilah subscribe, like dan share, multi tasking. Semua istilah itu berkaitan dengan teknologi komunikasi dan juga berkaitan dengan kecepatan yang melampaui batas normal dalam pikiran manusia era sebelum metaverse.

Kemajuan itu semakin kuat dibutuhkan dan dirasakan kegunaannya khususnya pada masa pandemi Covid 19. Tidak terasa sebenarnya manusia melakukan aksi protes pada situasi yang menjebaknya ke dalam ruang terbatas. 

Istilah yang menyeret manusia terkungkung dalam keterbatasan ruang hidup secara fisik itu dikenal luas dengan sebutan lockdown. 

Baru-baru ini saya menemukan satu botol minuman dingin di supermarket dengan tulisan seperti ini "lockdown Freiheit“ artinya lock down sudah dicoret, sehingga yang ada sekarang cuma kebebasan.

Artinya bahwa kebebasan yang dinantikan manusia saat ini bukan hanya terkait dengan makan dan minum yang bisa dinikmati di rumah makan, tetapi juga perlu dimaknai secara luas dalam kaitan dengan dunia metaverse itu sendiri dan pendidikan.

Oleh karena itu tema sorotan Kompasiana bagi saya sangat aktual dan relevan. Mengapa? Ada 5 alasan berikut ini:

1. Dunia metaverse adalah dunia nyata saat ini yang cepat 

Siapa saja yang hidup realistis saat ini, dia akan melihat bahwa manusia dewasa ini sudah tidak dapat dipisahkan lagi dari metaverse. 

Teknologi digital sudah menjadi pilihan yang paling dirasa keren dan elegan untuk saat ini. Dunia metaverse itu nyata meskipun belum semua orang bisa menerima dan merasakannya. 

Bahkan dalam skala perkembangan umum dan global diterima sebagai pilihan wajib dan bukan lagi sebagai alternatif beberapa tahun yang akan datang.

Pertanyaannya apakah generasi kita sudah siap? Mau tidak mau metaverse hadir tanpa kompromi hampir dalam kaitannya dengan semua bidang kehidupan manusia di mana saja.

Belajar dari gebrakan metaverse di Jerman untuk pendidikan di Indonesia | Dokumen diambil dari internet der Zukunft: welcome br.de
Belajar dari gebrakan metaverse di Jerman untuk pendidikan di Indonesia | Dokumen diambil dari internet der Zukunft: welcome br.de

Contohnya, saya tinggal di Jerman, pada saat kasus Covid 19 sangat tinggi semua orang dilarang bepergian. 

Seorang teman saya memesan makanan dari Indonesia. Saya kira itu jasa dari kemajuan teknologi digital saat ini. Dalam waktu setengah jam, makanan itu tiba di tempat saya, di Jerman.

Kenyataan seperti itu hampir tidak bisa dipercaya bahwa orang tinggal di Indonesia, tetapi bisa memesan makanan di Jerman dari rumahnya di Indonesia.

Keuntungannya sangat jelas, hemat waktu, dan juga dari segi keamanan sangat terjamin, karena tanpa perlu kontak dengan orang lain pada situasi Covid 19 waktu itu.

2. Pengguna ruang metaverse mampu menerjemahkan mimpi manusia menjadi kenyataan saat ini

Jejaring sosial saat ini bertujuan untuk menyatukan penggunanya di alam semesta virtual. Bahkan bisa dikatakan di dunia metaverse ini, orang bisa bertemu, berinteraksi, atau bahkan bekerja. Apa yang terdengar seperti fiksi ilmiah bukanlah mimpi masa depan, tetapi sudah mungkin terjadi hari ini.

Penerjemahan mimpi menjadi kenyataan itu sangat tergantung pada internet. Apa yang diinginkan manusia bisa saja sangat cepat terpenuhi jika koneksi internet itu ada dan memungkinkannya.

Penerjemahan mimpi itu menjadi sangat praktis bagi pendidikan yang menuntut dalam waktu cepat bisa mengetahui banyak hal melalui cara berkomunikasi secara luas tanpa batas dengan orang lain di belahan dunia lainnya.

3. Dunia metaverse menjadikan manusia tidak sendirian

Kemampuan manusia hidup di tengah kemajuan dunia digital saat ini, pada sisi positifnya menjadikan manusia tidak pernah merasa sendirian.

Lihat saja secara fisik orang berjalan sendiri, tetapi ada satu alat kecil yang menempel pada kupingnya; oleh karena itu dia bisa tertawa dan berdiskusi layaknya dengan orang lain yang selalu bersamanya.

Bagaimanapun juga kemajuan seperti ini sebenarnya bisa menjadi begitu efektif dalam konteks pendidikan. Orang bisa belajar kapan dan di mana saja bersama siapa saja dan di mana saja.

Seorang peneliti dari laboratorium realitas eksperimental dari pusat pemasaran Münster, Jerman, Prof. Dr. Thorsten Hennig-Thurau, menulis seperti ini, “Kita bisa bergerak melalui dunia virtual dalam bentuk avatar. Intinya, bagaimanapun, terletak pada kenyataan bahwa kita tidak sendirian di sana, tetapi menjadi aktif secara sosial.“(bdk. www.xrlab-mcm.space)

4. Perusahan-perusahan yang berkelas internasional akan menggunakan teknologi jasa metaverse

Persaingan dan supremasi di metaverse sebenarnya sedang berlangsung saat ini. Di Jerman misalnya sudah mulai digunakan dalam konteks uji coba.

Baru-baru ini muncul istilah Digital Test Autobahn (DTA), atau program digital uji coba mobil tanpa pengemudi di jalan tol. Pengguna jalan tol dikejutkan dengan rambu lalu lintas yang baru hitam putih di jalan tol.

Produsen mobil, perusahaan telekomunikasi dan perusahaan IT sedang menguji komunikasi digital berwawasan ke depan atau metaverse antara jalan dan mobil. 

Dalam konteks lalu lintas yang nyata saat ini dalam kerja sama dengan pabrikan besar Bavaria, BMW dan Audi (bdk. www.rundschau-online.de)

Tidak hanya itu, Mark Zuckerberg menginvestasikan 10 miliar euro di metaverse pada tahun lalu karena dia ingin menjadi orang yang menyediakan platform tempat perusahaan lain mempublikasikan aplikasi mereka. Selain karena ia malu pernah ditertawakan saat ia membeli pelopor kacamata VR Oculus. (bdk. mixed.de)

5. Kuliah metaverse untuk menekan ketertinggalan dalam dunia kemajuan teknologi dan pendidikan

Kuliah metaverse untuk konteks Indonesia memang sudah seharusnya menjadi prioritas saat ini. 

Oleh karena itu, para ahli ilmu komunikasi dan teknologi digital diberikan kesempatan untuk merancang bahan-bahan yang perlu untuk kurikulum kita.

Bila perlu ada juga sih kurikulum metaverse yang memprioritaskan penelitian dan fungsi teknologi digital masa depan yang bisa berfungsi dalam menjawab kebutuhan masyarakat.

Nah, dalam hal ini kita punya tantangan juga, misalnya bagaimana dengan kemajuan digital ini, apakah kita bisa menghemat kertas suara dalam pemilu 2024 nanti?

Kuliah metaverse bagi saya sangat urgen untuk anak bangsa saat ini. Sekurang-kurangnya kita tidak tertinggal jauh dengan orang lain dari negara-negara lain. 

Cuma sangat disayangkan bahwa kemajuan seperti ini tentu saja selalu saja terlambat untuk wilayah-wilayah luar Jakarta. 

Kita sangat mengharapkan kemajuan pendidikan dalam urusan wawasan terkait metaverse itu merata ke seluruh tanah air. Akan tetapi, jika internet saja susah, ya mau bagaimana berbicara tentang metaverse.

Saya berharap dengan kurikulum baru yang memberikan ruang bebas pada minat anak-anak bangsa ini selalu didukung dengan dana yang cukup dan secara merata sampai ke pelosok desa.

Jika pemerataan itu sudah bisa dirasakan oleh semua sekolah dan universitas di seluruh pelosok Indonesia, maka kemajuan pendidikan anak bangsa bisa berjalan seimbang. Metaverse tidak akan lagi menjadi kata asing di tanah air.

Demikian beberapa pokok pikiran yang menyoroti dunia metaverse bukan hanya pemahaman etimologinya, tetapi juga tentang bagaimana tema metaverse saat ini yang sangatlah relevan.

Oleh karena sejumlah relevansi konkret itulah, kita pada prinsipnya tidak mau tertinggal dari kemajuan bangsa-bangsa lainnya di dunia ini. 

Cara yang tepat adalah dengan membuka ruang belajar di bangku kuliah tentang metaverse sambil terus mengupayakan kemajuan pendidikan secara merata bersama dengan kemajuan fasilitas yang dibutuhkan dan didukung oleh pemerintah tentunya.

Salam berbagi, ino, 6.04.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun