Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Teater The Vigilance: Ada Kata, Estetika, Rasa, dan Peduli pada Pendidikan

26 Maret 2022   19:50 Diperbarui: 29 Maret 2022   05:11 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waspada itu seperti kata terakhir saat semua merasa sudah cukup...jangan abaikan peringatan dari hatimu sendiri untuk tetap waspada.

Tema tentang "Masih Suka Nonton Teater?" membangkitkan kembali ingatan masa lalu saya, ketika pada tahun 2006 membentuk sebuah grup teater dengan nama Teater Vigilantia. 

Teater Vigilantia dibentuk atas inisiatif bersama dengan beberapa orang yang punya gairah yang sama sekedar mengekspresikan seni dan rasa.

Pada saat itu, kebebasan berpikir dan mengungkapkan pendapat masih terasa terbatas oleh ruang lingkup di mana saya hidup. 

Pada umumnya kekakuan cara berpikir masih menjadi gaya hidup sesuai konteks situasi umumnya saat itu.

Oleh karena itu, tema terkait kebebasan mengekspresikan diri dalam seni dan spiritualitas menjadi tema penting. 

Dalam konteks Flores, terasa sekali bahwa teater itu hanya menjadi milik kampus universitas, selain itu tentu hampir tidak ditemukan.

Apalagi masyarakat biasa, sangat jauh dari dunia seni teater. Hati kecil saya pada waktu itu terus bertanya, mengapa orang hanya diberikan kesempatan untuk belajar filsafat, spiritualitas dan teologi tanpa mendalami seni teater?

Di mana peran seni teater dalam konteks kehidupan sosial masyarakat? Saya ingat ada beberapa teater dari kelompok-kelompok mahasiswa yang ada di Maumere saat itu. Lalu, muncul pertanyaan yang menantang mengapa saya tidak punya kelompok teater.

Saat itu saya bergulat dengan satu pertanyaan dari seorang formator, apa yang penting dan perlu, ketika kalian sudah tahu tentang segala sesuatu.

Debaran jantung saya betul terpancing untuk menjawab pertanyaan itu tanpa mengkritisi seakan-akan pertanyaannya konyol saat itu. Sebaliknya dengan tenang dan perlahan-lahan berusaha memahami pertanyaan itu. 

Saya merasakan sebenarnya pertanyaan itu sangat penting. Ada banyak orang pintar di dunia ini, ada pula banyak orang bijak, ada banyak penasihat di muka bumi ini, ada banyak sekali motivator dan lain sebagainya.

Namun, ketika orang tidak waspada, maka semuanya akan terhapus, sama seperti panas setahun dihapus dengan hujan sehari.

Pergulatan batin pada waktu itu mengerucut pada sebuah nama tentang ungkapan ini, "hendaklah kalian berjaga-jaga." 

Bagi saya pada waktu itu, "hendaklah kalian berjaga-jaga" adalah jawaban atas pertanyaan formator saya di atas.

Dalam ungkapan yang singkat dan menarik untuk meringkas jawaban di atas, saya temukan satu kata "The Vigilance" atau Kewaspadaan. 

Kata "the Vigilance" berasal dari kata latin Vigilia atau das Wachen, atau berjaga waktu malam (Nacht Wachen), sedangkan kata kerja bentuk infinitifnya vigilare atau tinggal dalam kewaspadaan, mewaspadai.

Pada saat itu, saya menggambarkan sebuah logo dengan huruf "V" simbol dari nama Vigilia tetapi dalam bentuk jari -jari tangan, yaitu ibu jari dan jari telunjuk.

Ya, itu adalah sebuah nama dan tanda yang memberikan peringatan: waspada! Jadi, V bukan saja Veritas, tapi juga Vigilia.

Pesan tentang kewaspadaan bagi saya itu sangat penting, mengapa? Ini ada beberapa alasan sekaligus cikal bakal perjuangan membentuk kelompok teater di Maumere:

1. Konsep tentang kewaspadaan manusia di tengah kemajuan teknologi komunikasi

Pada tahun 2006 Flores umumnya dan Maumere khususnya sedang diguncang teknologi komunikasi. Tahun-tahun awal orang Flores mengenal HP, seperti Nokia kuno, sony ericsson. Masa itu belum banyak punya HP kamera yang bagus.

Konteks pertama mengenal teknologi komunikasi saat itu menyeret banyak orang pada kebiasaan (habitus) hidup baru. Banyak orang merasa puas kalau dia bisa mengenal banyak orang lain selain di rumahnya.

Ada kebanggaan kalau bisa menerima telpon dari seseorang, meskipun ia tidak mengenal orang itu. Apalagi suara perempuan, nyasar pun senang. Semuanya dianggap baik dan cantik-cantik, meski belum melihatnya.

Suara lain, kontak dengan orang lain sontak jadi idola zaman saat itu. Ternyata, dalam perjalanan waktu ritme kehidupan yang diseret teknologi komunikasi itu melahirkan ungkapan seperti ini: "Seram kedalam, ramah ke luar." (kata-kata dari seorang teman asal Timor Leste).

Ungkapan itu berangkat dari kenyataan ini, orang lebih suka membangun komunikasi dengan orang lain, daripada dengan orang yang terdekat dan hidup bersama dengannya. Orang bisa saja terdengar begitu ramah dengan orang lain melalui sambungan telepon, daripada ramah dengan orang yang ada di depan matanya.

Refleksi saya pada saat itu, konteks seperti itulah yang menjadikan peringatan "waspadalah" menjadi sangat relevan. Waspadalah supaya kemajuan teknologi komunikasi tidak menjadikan kita seram dengan orang yang dekat dengan kita dan tidak hanya ramah dengan orang baru yang jauh dari kita.

2. Konsep tentang mencari dana dengan mengulurkan tangan

Pada saat itu, saya pernah menjadi ketua kelompok sosial yang membiayai anak-anak SMP dan SMA yang punya kemampuan akademis bagus, namun orangtua mereka terbatas secara finansial.

Kami tergabung dalam satu kelompok dengan nama "sosial ekonomi atau Sosek" dengan tugas, setiap hari libur berkeliaran di kota Maumere seperti blusukan mengunjungi keluarga-keluarga untuk meminta bantuan dana pendidikan anak-anak itu.

Berjalan kaki di tengah panasnya kota Maumere, lalu memperoleh pemberian mulai dari 1000 sampai 5000 rupiah. Dana itu kami kumpulkan bersama untuk membiayai pendidikan anak-anak itu.

Bagi saya konteks itu sangat relevan. Banyak orang merasa punya banyak uang, tetapi tidak bisa memberi dan berbagi kepada orang lain yang membutuhkan. Waspada! 

Banyak orang malu memberi kalau hanya 1000 rupiah uangnya. Nah, dia tidak tahu bahwa dari 1000 rupiah yang kami kumpulkan itu, sudah ada beberapa yang bekerja di pelayaran, di rumah sakit sebagai perawat, menjadi guru dan bahkan menjadi biarawati yang punya tugas misi di luar negeri. Lagi-lagi waspada!

Saat itu hanya ada gambaran dan keraguan, sampai kapan kami terus bekerja meminta-minta seperti itu? Kami harus juga bisa memberi dengan cara kami. Kami memberi dengan rasa dan kreativitas, maka kami akan merasa pantas dihargai walaupun cuma seribu rupiah.

Saat itu, gagasan tentang pembentukan kelompok teater Vigilance semakin kuat. Tema-tema tentang kewaspadaan itu yang kami bawa dalam kreasi teater sederhana kami pada saat itu.

Ya, memberi pesan sederhana kepada masyarakat untuk tidak melupakan kepedulian kepada pendidikan anak, mempertanyakan kenyataan perjudian, dan juga tentang narasi-narasi kesusahan anak-anak yatim yang merindukan pendidikan.

3. Kewaspadaan yang menghasilkan uang untuk mendukung pendidikan

Tema pertama waktu itu dengan judul "The Vigilance" dengan gagasan bagaimana seorang yang sedang menapaki jalan panggilannya menjadi pastor, lalu berjumpa dengan seorang perempuan yang mencintainya.

Perempuan itu punya segalanya, punya uang, lalu cantik luar biasa, lucu, jiwa seniman. Bahkan punya janji-janji segunung, akan bekerja sebagai ini dan nanti bersama dengannya.

Meskipun begitu, frater itu sedang bergulat menentukan keputusan jalan hidupnya. Jeritan kewaspadaan dalam nalar dan batinnya begitu kencang.

Waspadalah, waspadalah....ya menjadi kritis dan bijak itu tidak mudah. Banyak orang tergiur dengan harta dan kecantikan. Tapi, sampai kapan? Pendidikan tetap menjadi prioritas utama.

Begitulah kira-kira pesan teater Vigilance pada penampilan pertama saat itu, bukan ajakan untuk anti perempuan, tetapi lebih mengajak untuk bijak bersikap dan waspada terhadap tawaran-tawaran yang belum tentu membawa orang ke jalan kebahagiaan, bahkan memotivasi supaya pendidikan tetap menjadi prioritas anak-anak muda.

Saya masih ingat ruangan aula yang berukuran sebesar 15 x 60 m kurang lebih dipadati oleh penonton. Seorang teman menyiapkan kotak kosong, siapa tahu ada orang yang mau memberi seribu rupiah.

Acara belum mulai, tetapi kotak kosong itu sudah mulai terisi. Jantungku berdebar, bisikan halus pun datang, "waspada!" Padahal kami tidak meminta.

Penonton mengerti apa arti dari sebuah kreativitas dan seni. Sayangnya bahwa dalam perjalanan pementasan, tiba-tiba datang seorang pimpinan saya mengangkat kotak itu dan menutupnya. 

Ungkapan tidak setujunya dinyatakan secara sangat jelas. Lagi-lagi muncul kata-kata ini, "waspada!" Saya hanya berpikir, pasti setelah acara pementasan ini, saya akan dipanggil dan mempertanggungjawabkan semua itu.

Saya tidak tahu berapa uang pada kotak itu. Dan saya bisa membayangkan berapa banyak uang kalau seandainya tidak dilarang menerima uang dari penonton saat itu.

Itulah tantangan yang menarik bahwa sebenarnya masyarakat kita suka pada kreativitas orang muda yang bisa memadukan kata, seni gerak dan pesan-pesan kehidupan. Namun, pada sisi yang lain, kebebasan untuk memiliki ruang kreasi sering dibatasi oleh kedangkalan pikiran sebagian orang.

The Vigilance, tetap dalam hati dan pikiran

Saya tidak tahu lagi sampai tahun berapa teater "the Vigilance" itu hidup di sana. Beberapa tahun lalu masih terdengar, namun tidak terlalu bergema. Entahlah.

Oleh karena jiwa dan nafas pesan kewaspadaan itu penting bagi saya, maka ketika tiba di Jerman, saya membentuk satu kelompok sharing dan meditasi bersama dengan nama "The Vigilance."

Dua tahun sempat berjalan, lalu dilumpuhkan oleh Covid19. Kami sudah pernah berjumpa selama 22 kali pertemuan dengan orang-orang berbeda. Ya, mengejutkan bahwa pernah bule-bule juga ikut ambil bagian.

Itu bukan teater, tetapi terkait nama dari the Vigilance. Nama yang memberikan saya ingatan akan masa lalu saat berjuang berpihak pada pendidikan anak-anak yang ekonomi orangtua mereka tidak mampu, tetapi juga berguna bagi diri sendiri untuk waspada terhadap segala perkembangan zaman.

Demikian cerita dan refleksi singkat tentang gairah mencintai dunia teater yang bermula dari mencari jalan untuk mengungkapan seni dan rasa, hingga pesan peduli pendidikan anak-anak dan kata-kata waspada. 

Pada prinsipnya, coretan ini sebagai titipan pesan penghargaan di hari Teater Sedunia: Teater itu indah dan membuat manusia bebas mengungkapkan visi kehidupan yang lengkap. Di sana ada perpaduan kata, estetika, realita, rasa, pesan, pendidikan dan massa yang menafsirkannya dengan bayaran berbeda-beda.

Salam berbagi, ino, 26.03.2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun