Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salat sebagai Apresiasi Ketuhanan dan Humanisme Islam

1 Maret 2022   22:42 Diperbarui: 2 Maret 2022   12:48 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salat sebagai apresasi ketuhanan dan humanisme Islam | Dokumen pribadi oleh Ino

Saya akhirnya menjadi semakin memahami ajaran iman saya sendiri, ketika saya terbuka pada ajaran dan pemahaman lainnya. 

Tema sorotan kompasiana kali ini, bagi saya merupakan tema paling menantang, tetapi juga paling membuat penasaran (neugierig). Perjuangan pertama yang saya hadapi adalah pikiran sendiri untuk melihat secara objektif, bahwa tema Isra Miraj: Memaknai perintah Salat" adalah tema yang ditawarkan kepada semua penulis Kompasiana dan bukan hanya untuk saudara-saudari saya yang muslim.

Selain itu, ada pula gagasan lain yang memotivasi saya sebelum menulis tema itu yakni bahwa Isra Miraj selain merupakan peristiwa yang diimani umat muslim, Isra Miraj adalah juga suatu momen inspirasi spiritual yang terbuka kepada siapa saja untuk memaknainya.

Dua pokok pikiran di atas sunggauh membantu saya untuk mulai membuka literatur tentang Islam dan mendekatkan diri sambil menyelami makna yang kaya di dalamnya.

Sebenarnya tidak begitu asing bagi saya karena latar belakang pendidikan saya,  pernah hidup di lembaga pendidikan muslim selama 3 tahun, lalu pernah mengikuti kuliah tentang dialog perbandingan agama dan beberapa seminar lainnya seperti ziara ke Mekah dan kota-kota sekitarnya" di Jerman.

Selain itu, sebenarnya saya senang mendengar ceramah-ceramah dari beberapa Ustad Indonesia dan senang juga membaca karya-karya tulis dari Nurcholish Madjid dan Gus Dur.

Tulisan ini merujuk pada tulisan-tulisan Nurcholish Madjid yang bagi saya sangat baik memahami ajaran Islam dan sangat membantu saya untuk memahami Islam dan secara khusus terkait tema Isra Miraj. Tidak lupa pula bahwa dalam tulisan ini saya mengungkapkan juga bagaimana inspirasi yang menyentuh hati saya melalui ungkapan-ungkapan hati yang personal sebagai seorang bukan muslim.

Struktur salat dalam konsep Nurcholish Madjid

Madjid menggaris bawahi struktur salat sebagai awal dan akhir. Salat dibuka dengan takbir (Allah akbar) yang merupakan kontak dengan Tuhan, dan ditutup dengan salam (al-salm-u 'alay-kum) yang merupakan kontak antarmanusia.

Pertama saat membaca struktur salat menurut Madjid ini, saya begitu tercengang dan merasakan keindahannya dalam salat itu sendiri. Saya merasakan bahwa di dalam salat itu ada dua dimensi yakni ilahi dan manusiawi. Allah saya akui dan manusia saya hargai."

Betapa indah dan dalamnya struktur salat itu, jika salat dipahami dalam kerangka struktur  berpikir Madjid. Kedamaian dunia ini tentu tidak bisa dipisahkan dari dua dimensi itu: ilahi dan manusiawi. 

Dalam bahasa yang sederhana saya bisa mengatakan dalam logika seperti ini: "Jika Allah diapresiasi, maka manusia pantas pula dihargai dengan rasa kemanusiaan yang utuh."

Terkait hal ini, izinkan saya melihat juga dari sudut pandang lain, yang hemat saya semakin mempertegas sorotan Madjid. Saya hidup dari latar belakang kristen katolik di bawah pengaruh literatur Eropa dan bahkan tradisi hidup di Yerusalem. Dalam satu tradisi yang saya hidupi, ada suatu formula setiap mendoakan doa-doa Mazmur. Formula yang diungkapkan dengan gerakan tubuh itu begitu mirip seperti salat.

Saat membungkukan badan diucapkan Kemuliaan kepada Bapa, Putera dan Roh Kudus" ya, itu Allah yang kami imani, selanjutnya badan kembali ditegakkan saat mengucapkan Seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad. Amin."

Bertahun-tahun saya belajar teologi, tetapi saya belum menemukan interpretasi tentang gestikulasi tubuh yang sesuai dengan kata-katanya. Nah, pikiran saya dibuka untuk memahami itu ketika membaca tulisan Nurcholish Madjid. Barangkali sama penekanannya yakni apresiasi pada Ketuhanan dan respek pada manusia dan dunia di sekitarnya pada saat sekarang ini.

Hal menarik lainnya dari Madjid adalah bahwa  keadaan yang penuh damai itu sangat tergantung dari kondisi sosial dan ekonomi yang juga bisa diungkapkan dalam pembagian kekayaan. Meskipun demikian, menurutnya seseorang tetap saja perlu memohon petunjuk Tuhan agar dituntun kepada jalan yang benar.

Nah, gagasan tentang permohonan petunjuk kepada jalan yang benar itulah yang sangat penting dalam salat. Hal ini karena di dalam salat itu dibacakan surat al-Fatihah, tegas Nurcholish Madjid.

Hikmah salat

Nurcholish Madjid menggarisbawahi hikmah salat dengan fungsi preventif atau pencegahan. Demikian kutipan terjemahannya "... Sesungguhnya salat itu mencegah (seseorang yang melakukannya) dari perbuatan kotor dan keji, dan tentulah ingat kepada Allah itu lebih agung," (Q 29:45).

Dalam penjelasannya tentang salat, Madjid juga menghubungkan salat dengan keinsyafan sosial. Nah, dalam arti sebagai suatu keinsyafan berarti juga suatu kesadaran sosial.

Pertanyaannya kesadaran sosial seperti apa? Kata insaf punya tiga arti, yakni pertama, sadar akan; mengerti benar akan dan yakin benar. Kedua, sadar akan kekeliruan diri dan bertekad untuk memperbaiki dirinya. Ketiga, belas kasihan. Dari percikan definisi kata insaf ini, saya memahami bahwa pertama sekali adalah dimensi pikiran atau akal yang jernih (reine Geist), yang tentunya sangat penting dalam tatanan hidup sosial, selain itu tentang koreksi diri (self correction) dan amal belas kasihan kepada sesama manusia.

Sementara itu, jika dilihat lagi akar kata akal murni (reine Geist) sebenarnya berasal dari kata latin "anima" yang berarti nafas, jiwa dan hidup. Sedangkan kata "animus" yang berjenis jantan berarti sikap (Gesinnung), roh (Geist), nalar (Sinn), pemahaman (Verstand), keberanian (Mut) dan hati (Herz).

Dari pemahaman seperti ini, tampak tidak jauh berbeda dengan ajaran dalam kekristenan yang mengajarkan tentang totalitas dalam mengasihi: hendaklah kamu mengasihi Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu (bdk. Mt 22:37).

Oleh karena itu, saya bisa mengerti jika Nurcholish Madjid menekankan aspek doa salat sebagai doa untuk ditunjukkan kepada jalan yang lurus, jalan hidup yang benar menuju dan mendekat sedekat mungkin kepada Allah, Kebenaran mutlak. Ya, melalui salat itulah manusia dibimbing kepada dialog intim dengan Tuhannya dan pada saat yang sama membangkitkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup manusia.

Salat sebagai saat hati bergetar

Pada prinsipnya kontak dialog komunikasi dengan Tuhan itulah yang menjadi inti dari doa. Tidak heran kata "salat" dalam bahasa Arab: shalh, mufrad; shalawt, jamak) sendiri secara harfiah berarti seruan: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang bila Allah disebut, hati mereka bergetar, dan bila ayat-ayat-Nya dibacakan, bertambahlah iman mereka, dan mereka itu bertawakal kepada Tuhan mereka," (Q 8:2). 

Dengan sangat jelas bahkan Allah menyampaikan firman-Nya kepada Nabi Musa, "... Dan tegakkanlah salat, agar (kamu) ingat (zikr) kepada-Ku," (Q 20:14).

Firman yang sangat indah dan menggetarkan hati itu tidak jauh bedanya dengan yang ada di dalam kekristenan, sebutlah nama Tuhanmu, karena nama itu adalah nama yang menyelamatkan. Atau lebih jelasnya dalam Kitab Amsal, Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat," (Amsal 18:10).

Salaat sebagai saat memberikan perhatian kepada sesama manusia

Pertama sekali saya membaca buku-buku dari Nurcholish Madjid, saya begitu terkejut karena mengetahui bahwa ternyata ketika salat itu ada saatnya untuk menoleh ke kiri dan ke kanan. Nah, dalam pemikiran Nurcholish menoleh ke kiri dan ke kanan itu adalah ungkapan perhatian kepada sesama manusia.

Oleh karena itu, Madjid mengungkapkan dimensi yang sangat luar biasa mendasar tentang hubungan antara doa dengan tindakan nyata atau amal kasih. Ya, sebuah gagasan humanisme yang berakar dalam doa. 

Doa akhirnya memang perlu dimengerti sebagai momen di mana mengarahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan juga momen peduli pada sesama manusia. Betapa indahnya ajaran-ajaran agama kita.

Demikian tulisan ini, saya akhiri dengan ungkapan rasa kagum pada ajaran agama kita bahwa sebagai manusia kita perlu punya kesempatan untuk mengarahkan diri dan memohon tuntutan Tuhan agar kita berjalan di jalan yang lurus, di jalan yang benar dan selanjutnya memelihara hubungan kita dengan sesama kita. Pada prinsipnya kontak vertikal kita kepada Tuhan tidaklah semata-mata sebagai akhirnya, tetapi sebagai awal untuk dibuktikan dalam kontak kita dengan sesama dalam hidup kita setiap hari.

Salam berbagi, ino, 1.03.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun