Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema Kurikulum Merdeka, antara Prioritas Cinta NKRI dan Radikalisme

17 Februari 2022   11:49 Diperbarui: 18 Februari 2022   11:13 2729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Guru mengajarkan satu per satu murid di kelas. (ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI via kompas.com)

Merdeka harus dipertahankan, prioritas cinta NKRI, Pancasila dan UUD 1945 tidak boleh dilupakan.

Apa kabar Indonesia? Tema "kurikulum merdeka" memang sangat menarik untuk dikritisi, didiskusikan dan ditelaah lebih jauh lagi secara terbuka oleh banyak mata, hati dan pikiran dari anak bangsa ini. Tentu semua penulis berangkat dari pengalaman sebagai generasi yang tidak mengalami pahit manisnya kurikulum merdeka.

Oleh karena itu, tulisan ini lebih merupakan satu alternatif perspektif dengan rujukan analisis adalah situasi bangsa secara umum sesuai dengan perkembangan-perkembangan terakhir saat ini. Kalau mau menyatakan setuju dengan kurikulum merdeka, ya belum ada buktinya, kalau tidak setuju juga sulit karena kita satu bangsa yang punya visi Indonesia Maju.

Umumnya kebanyakan orang percaya pada adagium keseharian ini, "Jika mau maju, orang perlu melakukan terobosan baru yang kreatif dan inovatif." Saya akhirnya berpikir bahwa jangan-jangan kurikulum merdeka ini adalah suatu terobosan baru dari menteri pendidikan kita.

Berangkat dari gagasan-gagasan antara mau berubah dan lebih maju lagi itulah, saya berusaha menyoroti analisis pribadi terkait di satu sisi kurikulum merdeka dan pada sisi lainnya terkait prioritas pendidikan bangsa ini dalam hubungan dengan isu-isu radikalisme.

Akar kata kurikulum

Kurikulum itu bukan kata bahasa Indonesia, tetapi kata adopsi dari kata bahasa Latin curriculum. Dalam bahasa latin, kata curriculum adalah kata benda dengan jenis kelaminnya netral. Sedangkan arti kata curriculum  dalam bahasa Jerman berarti Lauf, Wettlauf yang berarti lari, balapan.

Berangkat dari arti kata curriculum, terlihat bahwa isi dari kurikulum itu sendiri semestinya adalah suatu dinamika dan konkurenz atau persaingan. 

Jika Indonesia menggunakan kurikulum merdeka, maka sangat mungkin bahwa Indonesia dalam kesadaran untuk mengejar ketertinggalan atau Indonesia sedang bersaing, sedang balapan menjadi pemenang.

Bagi sebagian orang bisa saja merasa terganggu sekali dengan munculnya kurikulum merdeka, apa-apaan menteri baru ini, ubah-ubah kurikulum? Saya yakin Bapak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim mengerti sekali apa artinya kurikulum itu sendiri. 

Logikanya, kalau seseorang mau menjadi pemenang dalam balapan motor, ia mesti tahu dulu bahwa sepeda motornya baru atau sepeda motor bekas hasil rongsokan zaman dulu.

Berani mengadakan yang baru supaya dari segi kepastian dan jaminan kecepatannya bisa meyakinkan sebagai sang juara. Sebaliknya kalau sepeda motor lama, sudah pasti lambat dan macetnya ampun deh, baru beberapa kilometer mesin sudah panas sekali, ini cuma sebuah analogi.

Indonesia mungkin perlu merefleksikan ulang arti kurikulum itu. Nah, oleh karena itu, analisis selanjutnya terkait juga dengan kurikulum baru yang bisa diterjemahkan sebagai "balapan merdeka"

"Balapan merdeka"

Ilustrasi tentang dilema kurikulum merdeka antara prioritas dan radikalsime | Dokumen diambil dari: newssetup.konten.co.id
Ilustrasi tentang dilema kurikulum merdeka antara prioritas dan radikalsime | Dokumen diambil dari: newssetup.konten.co.id

Setelah memahami arti kurikulum dari kata aslinya, sekarang mari kita coba analisis isi dari kurikulum merdeka itu sendiri. Dari uraian tentang kurikulum merdeka itu terlihat jelas sekali bahwa unsur kebebasan menafsir terkait apa itu dan bagaimana kurikulum merdeka juga diberikan kepada setiap guru. 

Satu hal yang pasti bahwa tema kurikulum merdeka menyoroti aspek otonomi guru dalam menangani kurikulum itu. Ya, guru punya wewenang penuh dalam merancang kurikulum untuk anak didiknya.

Pemaknaan kata "merdeka" di sini sama dengan setiap guru dan murid diberikan hak otonomi dalam penentuan sendiri bidang apa saja yang penting bagi mereka. Hal ini tentu sangat menarik. Sekali lagi, kurikulum merdeka, sama seperti peluang baru yang diberikan kepada setiap sekolah untuk berinovasi sehebat mungkin sehingga menjadi pemenang dalam laga balapan dengan perkembangan zaman saat ini.

Dalam bahasa metaforis bisa dikatakan bahwa setiap sekolah diberikan kebebasan untuk merancang jenis mesin apa yang punya kekuatan (Kraft)dan kecepatan (Schnelligkeit) sebagai pemenang. Sekolah akhirnya menjadi seperti sebuah bengkel mesin yang mendesain jenis motor yang menjadi terdepan.

Dalam arti seperti itu, saya katakan gagasan menteri Nadiem Makarim sangat menarik. Namun, bagaimana dengan sekolah-sekolah atau bengkel motor yang tidak punya kemampuan finansial yang cukup. Bagaimana mereka bisa  membeli mesin dari luar negeri seperti motor BMW, Harley dan lain sebagainya.

Sangat mungkin bahwa bengkel di desa hanya bisa laris di desa. Atau apakah pemerintah dalam hal ini menteri pendidikan siap mensupport dana untuk pengadaan mesin-mesin baru dan siap membayar tenaga perancang mesin yang handal sehingga menghasilkan mesin yang punya speed tidak tertandingi itu sampai ke desa-desa?

Seharusnya seperti itu, sebab jika tidak punya andil dalam mensupport dana untuk kurikulum merdeka, maka ketimpangan dan ketertinggalan pendidikan di desa-desa akan menjadi semakin besar. Nah, sekarang kurikulum merdeka berhadapan dengan tantangan finansialnya.

Kurikulum merdeka dan support untuk inovasi dan kreativitas guru

Kurikulum merdeka terlihat punya pintu harapan dengan peluang inovasi dan kreativitas yang sangat besar. Apalagi untuk di kota-kota besar, bahkan sangat mungkin orangtua dari setiap siswa akan lebih kreatif lagi mengusahakan yang terbaik untuk anaknya. 

Semua cara bisa ditempuh dengan bebas oleh karena hak otonomi itu diberikan kepada guru dan tentu juga orangtua punya otonomi yang mendukung anaknya sendiri. 

Sekali lagi, pertanyaan yang penting adalah apakah ada pertimbangan terkait pemerataan sumbangan seperti dana kurikulum merdeka yang diberikan kepada guru-guru sehingga mereka bisa berkreasi dan berinovasi secara maksimal?

Lalu bagaimana sistem pemeriksaan keuangan kalau guru-guru itu selalu punya otonomi, mereka juga harus mengelola keuangan untuk mendukung program pendidikan mereka di sekolah-sekolah?  Apakah pemerintah yakin bahwa dana yang besar itu pasti tepat sasar dan efektif untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia?

Otonomi, inovasi dan kreatif memang selalu punya konsekuensi pada anggaran, apalagi di tengah dunia digital atau metaverse ini. Biaya untuk pendidikan dengan basis kurikulum merdeka tentu lebih besar lagi karena bisa jadi setiap guru dan setiap anak menginginkan model fasilitas teknologi yang tinggi sebagai sarana pendidikannya.

Mungkinkah negara bisa mengakomodir itu semua, ataukah akan ada pembatasan sesuai standar prioritas tertentu yang diatur pemerintah? 

Kurikulum merdeka dan konteks radikalisme

Akhir-akhir ini sudah menjadi rahasia umum bahwa di negeri ini ada banyak sekali individu dari suatu lembaga pendidikan tertentu yang terafiliasi jaringan radikalisme. Apakah menteri pendidikan sudah berpikir bagaimana dampaknya ketika penerapan kurikulum merdeka itu? 

Sangat potensial bahwa individu-individu yang terafiliasi itu akan lebih leluasa dengan sendirinya mengembangkan kembali sayap radikalisme secara bebas. Ya, bagaimana tidak, karena mereka punya otonomi.

Oleh karena itu, saya pikir kurikulum merdeka ini mesti diimbangi dengan skala prioritas. Apa yang menjadi prioritas bangsa Indonesia saat ini? Menurut saya prioritas pendidikan anak bangsa Indonesia adalah tentang pendidikan nilai kecintaan kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan UUD 1945.

Tanpa prioritas, maka nilai kecintaan terhadap bangsa dan NKRI, Pancasila, UUD 1945, rasa hormat kepada negara dan pemimpin bangsa dan negara itu akan hilang. Nah, akan jadi apakah bangsa ini kalau generasi muda atau anak bangsa ini tidak radikal mencintai NKRI, Pancasila dan UUD 1945? 

Berapa banyak guru yang dalam konteks otonomi mereka akhirnya menentukan bahwa pendidikan nilai kecintaan pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 sebagai prioritas? Sangat mungkin, pendidikan bangsa ini akan diwarnai dengan nilai-nilai agama dari masing-masing agama dari gurunya saja. Nah, kalau demikian, maka akan tumbuh marak bibit manusia eksklusif.

Nah, kalau demikian, sebenarnya target pendidikan bangsa ini belum sampai. Negara yang terkenal dengan kebhinekaan, hendaknya mengutamakan toleransi dan sikap yang inklusif atau terbuka kepada orang lain.

Merdeka boleh-boleh saja, tapi mesti ada prioritasnya

Pada satu sisi balapan merdeka yang menempatkan otonomi penentuan sendiri sama dengan membuka peluang melebarkan pintu inovasi dan kreativitas guru dan anak didik, sementara itu pada sisi lainnya ada signal meningkatkan skala intensitas pengajaran yang berbasiskan radikalitas pada ekstrimisme di negeri ini.

Tegakah pemerintah membiarkan kenyataan afiliasi jaringan radikalisme ke begitu banyak anak bangsa di negeri ini? Saya kira tidak, pemerintah mesti punya target dan visi yang bisa mengubah pola pikir dan perspektif guru dan anak didik dari yang ekstrim radikalis ke progresif humanis.

Nah, untuk sampai pada visi humanisme itu, saya kira kurikulum merdeka mesti punya prioritas dan spiritualitas yang bisa mengembalikan radikalitas pada gerakan ekstrimisme itu sendiri.

Peran dan tanggung jawab untuk mengembalikan radikalitas dari yang ekstrim ke radikalitas yang humanis dan pancasilais, itu tentu butuh waktu dan tidak bisa dengan hanya mengatakan silahkan Anda punya kebebasan untuk menentukan sendiri.

Radikalitas atau menjadi radikal bagi saya masih bisa dimengerti sebagai yang positif sebagai yang benar-benar berakar; kata latin radix berarti akar. Generasi yang terafiliasi jaringan radikalisme mesti kembali ditempa secara radikal untuk mengubah pola pikir dan cara pandang mereka. Mereka perlu dibimbing untuk kembali ke radix cinta NKRI, Pancasila dan UUD 1945. 

Bagaimana cara mengubah radix itu sendiri, mungkinkah itu melalui kurikulum merdeka "balapan merdeka", tentu tidak mudah, ya proses pengembalian itu membutuhkan waktu dengan intensitas pendampingan, dan spiritualitas atau cara hidup yang mengedepankan toleransi, kasih sayang, persaudaraan universal sebagai prioritas.

Demikian beberapa poin analisis dan sorotan refleksi terkait dilema kurikulum merdeka antara prioritas cinta NKRI, Pancasila, UUD 1945 di tengah gelombang radikalisme di Indonesia. 

Pada prinsipnya kurikulum merdeka menjadikan anak bangsa ini lebih bisa berinovasi dengan kecepatan tertentu yang seimbang dengan kemajuan dan perkembangan zaman ini, namun prioritas tidak bisa dilupakan agar anak bangsa ini tidak terlepas dari radix tanah kelahiran dan filosofi bangsa kebanggaannya. 

Salam berbagi, ino, 17.02.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun