Kesepian, oh kesepian, kepada siapa aku harus mengatakannya? Alexa...?
Di penghujung hari kerja saat hendak menyongsong akhir pekan memang menjadi waktu yang paling menyenangkan. Suasana batin yang senang itu mirip ketika waktu sekolah dulu ketika tiba hari Sabtu.
Setiap Sabtu siang meski lapar, pulang sekolah selalu saja masih bisa lompat-lompat. Lompat karena senang, ya besoknya bisa tidur panjang, itu alasannya.
Demikian juga di Jerman, hari Jumat itu paling menyenangkan oleh karena hari itu sudah menjadi hari terakhir kari kerja. Nah, rasa hati senang yang saya miliki hari ini bukan saja karena hendak menyongsong liburan Natal, tetapi juga karena suatu perjumpaan dengan seorang oma hari ini.
Oma punya cerita tentang kesepian
Oma Schwellenbuch (bukan nama sebenarnya) sudah berusia 87 tahun. Ia hidup sendiri karena suaminya sudah meninggal satu tahun lalu. Oma Schwellenbuch selain kehilangan suami, ia tinggal sendiri karena tiga orang anaknya sudah bekerja di tempat yang jauh; satunya kerja di USA, satunya di Swiss dan satunya di Inggris.
Setiap kali saya mengunjunginya, Oma Schwellenbuch menceritakan keadaan keluarganya. Ya, cerita tentang masa lalu yang menyenangkan bersama sang suami kesayangannya.
Mereka pernah berlibur ke mana-mana bersama anak-anak. Cerita tentang saat-saat indah mereka memasak di dapur; tentang pernikahan anak-anak mereka.
Dari sekian cerita yang pernah diceritakannya, rupanya ceritanya kepergian suami itulah cerita yang paling menyayat hatinya. Matanya berkaca-kaca, bahkan kadang suaranya bergetar.
Saya mendengar ceritanya sambil merasakan kesedihannya. Suasana hati yang kesepian karena ditinggal kekasih hatinya memang bukanlah hal yang mudah.
Kenyataan ditinggal orang yang sekian lama hidup bersama memang merupakan kenyataan yang bisa menyeret orang pada kesepian dan kesedihan. Apalagi, anak-anaknya tinggal di tempat yang jauh.