Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pasar Sunyi dan Dilema Antara Identitas dan Kebebasan di Tengah Krisis Covid19

12 Desember 2021   05:06 Diperbarui: 13 Desember 2021   02:35 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar Sunyi dan dilema antara identitas dan kebebasan | Dokumen pribadi oleh Ino

Pasar sunyi, tiada penjual berdiri di sudut pondok-pondok kecil. Lingkaran terdalam di pasar utama dihimpit persyaratan dan kontrol ketat, hingga tiada yang lalu lalang.

Pasar sunyi tanpa penjual, tanpa  pengunjung yang pergi dan kembali ke rumah mereka lagi. Hari Sabtu tidak biasa pasar dihimpit sunyi di musim dingin.

Di pasar-pasar pun tidak terdengar suara pagi. Di sana sunyi....di manakah wahai manusia? Jawaban sama, semuanya karena varian Omicron punya gara-gara.

Pada radius pasar formal tidak ada yang datang lagi, bosan rasanya diperiksa setiap hari. Tak ada lagi warga sendiri. Ya, semuanya bagaikan warga asing.

Omicron mengubah status dan identitas sebagai hal penting ketika mesti bepergian ke pasar sehari-hari. Berwarna-warni gelang tangan pengunjung setiap hari.

Tiada gelang berwarna sama halnya pendatang liar di kota sendiri. Identitas bukan lagi soal registrasi resmi di kantor sipil, tetapi sesuatu yang bisa dibuktikan dengan kasat mata di depan tuan-tuan polisi.

Pihak keamanan kota mondar-mandir tiada henti, menegur tanpa canggung dan malu. Memberi peringatan pada yang tidak taat tata tertib. Identitas mesti selalu dibawa pergi.

Identitas pribadi menjadi begitu penting di setiap lini. Tidak kenal waktu dan tempat untuk sisihkan identitas saat pergi-pergi, cuma satu saat dan ruang tidak perlu identitas pribadi yakni di kamar dan tempat tidur sendiri.

Pasar bebas sudah tidak ada lagi. Di kota ini cuma ada pasar identitas. Pasar produksi gagasan Omicron baru-baru ini. Tak ada protes dan penyangkalan aktual sampai saat ini.

Semua nurut apa kata aturan terbaru beberapa waktu ini. Wajib ini, wajib itu mulai dianggap biasa karena situasi. Yang tidak biasa, bahkan bertentangan dengan hati nurani mulai diterima sebagai yang wajar untuk kondisi terkini.

Pasar dengan tuntutan identitas resmi ternyata tak disukai orang-orang di kota ini. Mereka lebih suka identitas disembunyi dan kebebasan diangkat setinggi-tingginya sejak pagi.

Saat pasar berubah wajah jadi pasar identitas, maka terlihat wajah pasar begitu sepi. Orang-orang pada lari mencari tempat sendiri. Di pinggir-pinggir jalan yang dulunya sepi, kini berjejer penjual-penjual sayuran dan makanan untuk sarapan pagi.

Aneh tapi tidak diusir polisi. Mereka terlihat mengenakan masker tanpa dipaksa oleh pihak yang mengatur tata tertib. Kesadaran sendiri menjadi alasan berada di wilayah periferil.

Kota tua pada suatu pagi dengan sepi di satu sisi, namun ramai di lorong-lorong kecil. Pasar formal dengan aturan tata tertib yang harus dipenuhi, tidak bisa hadir pagi-pagi.

Tiada izinan sesuka hati penjual dan pembeli. Di sana ada waktu yang ditetapkan, di sana ada ruang yang dibatasi, ada pintu tempat orang masuk dan menunjukkan identitas pribadi.

Semua tak mudah lagi, yang rumit dan tidak perlu telah dibolak-balik hingga menjadi begitu penting dan tidak boleh terlewati. Manusia zaman ini tiada lagi bisa menentukan nasibnya sendiri.

Pasar sunyi, pasar identitas adalah bukti terkini. Pasar masa kini yang tidak bisa ada kompromi menyingkirkan model pasar bebas yang riuh ramai pembeli.

Mengeluh tidak mengubah yang sepi jadi riuh ramai. Protes apalagi, pasti tidak dimengerti. Sikap yang penting untuk saat ini adalah menyesuaikan diri.

Jika pagi hari menjumpai sepi, ya nikmati sepi sambil memandang langit. Jika terganggu di pinggir lorong kecil, ya pahami bahwa mereka punya perhitungan sendiri.

Berjuang hidup di tengah krisis tidak boleh dianggap main-main.  Krisis covid19 tidak pasti kapan berakhir. Demikian juga perjuangan penjual-penjual di pinggir lorong dan jalan kecil menjadi simbol penting tentang tekad sejati untuk menghidupi Familie.

Mengapa seperti ini? Tidak perlu pula diskusi berhari-hari, yang penting sehari-hari tetap bisa melakukan yang terbaik. Pasar sunyi dan sepi tidak mengurung niat suci mengais nasib untuk mempertahankan ekonomi.

Inilah catatan pagi saat pasar sunyi tiada penjual dan pembeli lagi. Mereka pergi dari lingkaran penuh kontrol dan disiplin sana sini. Ingin melihat penjual-penjual kurbis, sayuran dan bumbu penyedap sarapan panas siang hari.

Namun mereka tidak ditemukan di sana lagi.  Entahkah di rumah atau di tempat mana lagi, aku tidak mengerti mengapa terjadi seperti ini. Baru pertama kisah sunyi pasar kotaku ini. Kisah asing tentang pasar sunyi di akhir tahun ini.

Semua akhirnya mencari jalan sendiri-sendiri, bagaimana bisa hidup di tengah krisis. Bagaimana supaya perekonomian rumah tangga bisa berjalan aman sampai kini dan nanti?

Jangan malu-malu berjualan di pinggir-pinggir kota ini. Hidup di tengah krisis butuh langkah berani. Berani berkreasi di tengah situasi sulit tak selamanya luput dari seruput kopi pahit.

Ya, mau bagaimana lagi, demi hidup ini, orang-orang terus berjuang walau kebebasan mereka sudah mulai dikikis habis. Hidup tetap lebih penting dari kebebasan. 

Keamanan tetap lebih penting dari kontrol identitas. Sunyi lebih penting daripada duka dan kematian. Bahagia tentu lebih penting dari ratapan tentang krisis ini.

Mengeluh dan kesal itu memang benar-benar tidak penting. Berjuang dengan hati yang sunyi dan damai itu sangat penting di tengah krisis covid ini.

Salam berbagi, ino, 12.12.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun