Singkirkan kekesalan dan belajarlah menerima, maka hatimu akan legah dan penuh damai.
Sampai matahari terbenam, terasa belum ada tema yang nyaman untuk ditulis. Ya, kok tidak biasanya hari ini. Entah karena kecapaian kali? Ya bertanya sendiri dan jawab sendiri.
Kalau dibilang saya nggak punya tema, rasanya aneh juga kan. Masak sih sehari dalam hidup ini, kok nggak ada temannya. Ya, benar juga hidup itu adalah sebuah tema.
Menulis dan terus menulis bisa saja bukan karena hanya menjawab tantangan melalui tema-tema yang diberikan, tetapi orang bisa saja menulis dari perjumpaan hariannya.
Waduh rasanya hari ini saya sedang berhadapan dengan situasi sulit menulis. Benar....kok hari ini terasa banget. Cuma saya coba memberanikan diri masuk ke dalam situasi itu lalu menulisnya.
Siapa tahu, ada juga teman-teman penulis lain juga punya situasi yang mirip-mirip, namun belum tahu gimana cara mengatasinya. Saat menulis ini pun sebenarnya saya sedang dalam proses mengatasi situasi itu.
Saya akhirnya menemukan ide kecil bagaimana cara meramu pengalaman hidup harian. Nah, dari situlah saya coba membagikan pengalaman saya hari ini.
Ya, pengalaman kecil yang menuntun saya tetap menulis setiap hari.Â
Kisah apa yang menyebalkan hari ini?
Semua orang tentu punya kisah yang menyebalkan, bahkan mungkin juga setiap hari. Nah, hari ini saya punya kisah menyebalkan. Kisah itu berawal dari saat sarapan pagi sebelum ke Uni.
Sarapan yang semula dalam hitungan saya cuma lima menit, eh jadinya 10 menit. Di ruangan makan duduk beberapa teman, ketika melihat saya datang, spontan ada beberapa pertanyaan.
Saat asik menjelaskan, maka waktu yang sudah direncanakan akhirnya benar-benar tidak sesuai dengan yang direncanakan plus kesal karena kesalahan sendiri.
Saya lari-lari ke Bus Haltestelle atau tempat tunggu Bus. Lalu ketika tiba di Stasiun Kereta, ternyata saya masih melihat ada Kereta di sana; ya, saya senang sih.Â
Cuma sekitar tiga meter, Kereta itu berangkat. Duhhh kesalnya bukan main. Cepat-cepat lihat jam tangan sambil hitung-hitung waktu kalau benar ada Kereta berikutnya, maka sudah pasti terlambat mungkin cuma beberapa menit.
Nah, kesal karena terlambat itu pengalaman biasa, cuma konsekuensi dari terlambat beberapa menit itu akan berdampak besar pada semua hal.Â
Saat menunggu, saya bertanya diri sendiri, "Mengapa saya harus kesal dan kepada siapa saya harus kesal?" Dalam keadaan seperti itu mudah sekali sebenarnya menjadikan orang lain itu sebagai kambing hitam.Â
Saya bisa saja mengatakan bahwa sebab keterlambatan hari ini oleh karena Kereta atau juga karena pancingan pertanyaan teman-teman saya sendiri.
Kekesalan itu tidak datang karena orang lain, tetapi diri sendiri
Sebenarnya bukan karena orang lain, kesadaran diri sendiri untuk tetap konsisten dengan rencana pribadi itulah yang paling penting. Ya, kedisiplinan diri akhirnya bisa dipelajari dari pengalaman kesal hari ini.
Ternyata, kisah kekesalan telah menolong saya hingga bisa menulis tentang kekesalan hari ini. Jadi, sebenarnya untuk tetap menulis sebenarnya orang tidak perlu mencari-cari tema dong.
Apa yang saya anggap menarik dan suka tentang sesuatu, maka itulah yang saya tulis; ternyata tulisan itu dengan sendirinya akan mengalir.Â
Tampaknya tulisan yang benar-benar hidup dan disukai itu karena tulisan dari pengalaman aktual sesuai situasi batin penulis. Ya, sekurang-kurang secara pribadi senang jug sih kalau kisah hari ini akhirnya bisa ditulis.
Menulis dari kisah kekesalan orang lain
Semula saya pikir yang kesal pada hari ini mungkin cuma saya. Ternyata enggak juga sih. Ada banyak lagi orang lain yang kesal. Dalam perjalanan pulang saya sempat menunggu di sebuah stasiun Kereta di Frankfurt.
Tiba-tiba datanglah sebuah kereta ke arah Mainz. Cuma pada monitor tertulis, "Anda tidak boleh naik." Anehnya beberapa orang masuk ke dalam Kereta itu sebagaimana biasanya.
Ada seorang ibu yang sedang bingung, mau masuk tapi ragu-ragu. Dia lebih percaya pada petunjuk informasi itu bahwa tidak boleh masuk. Setelah tiga menit kemudian, Kereta itu berangkat, waduh saat itu, terdengar dari ibu itu hanya maki-makian saja sambil menunjuk-nunjuk monitor petunjuk informasi dan sesekali ke arah Kereta itu.
Saya juga tidak naik karena saya percaya pada petunjuk informasi itu. Saya hanya mendengar bagaimana kekesalan ibu itu jauh lebih parah dari saya pada pagi hari ini.
Saya pada saat itu sudah lebih tenang dan tidak ikut kesal lagi. Suara hati saya mengatakan seperti ini, "Cukuplah sekali dalam sehari kesalnya, masak kesal berkali-kali. Buang energi tahu."
Saya ditenangkan oleh suara itu dan terhibur juga sih, bahwa pada saat lihat orang kesal saya tidak menjadi kesal, tetapi mengamati kekesalannya hingga menjadi bahan tulisan nantinya.
Kesal itu godaan yang bisa muncul kapan saja
Dalam perjalanan pulang ke Mainz, tiba-tiba masuklah seorang pria berambut putih, rambutnya sebahu. Pada tangannya ada banyak sekali kantong plastik.
Ia duduk persis di samping saya. Sepanjang jalan main tanya terus, apakah Kereta ini ke arah Mainz. Saya sudah menjawabnya dua kali, toh masih tanya juga.Â
Siapa sih yang nggak kesal. Nah, bukan cuma itu lho. Dia mengganti pakaiannya di situ. Orang-orang pada pindah karena bau yang tidak sedap mesti pakai masker.
Baunya menembus masker lho. Saya sungguh nggak enak banget, kalau semua pada pindah, rasanya seperti betul-betul semua tidak menerimanya.
Saya coba belajar tidak terbawa kesal, tetapi tenang dan menikmati situasi tidak enak itu. Namun karena tiga orang lainnya pindah, maka ia pun pindah ke dua tempat duduk di samping saya. Ya, nggak jauh juga dan tetap saja bisa dilihat dengan jelas segala kesibukannya.
Perlahan-lahan saya mengerti bahwa ia bisa saja orang yang sedang stress atau sakit atau dalam keadaan tidak normal. Ia mengenakan Jaket, setelah itu baru mengenakan kaos. Ya, gimana?
Keuntungan saya setelah bertahan dengan situasi itu adalah bisa menulis kisah itu. Ternyata umumnya orang tidak suka dengan gaya gembel.
Nah, pada sisi yang lain saya jadi sadar bahwa segembel apapun dia, dia adalah manusia. Saya coba berfantasi saja, gimana rasa hati ini, kalau saat saya duduk, orang-orang pada bangun pindah tempat duduk.
Oh sakitnya di sini. Saya yakin masih ada banyak sekali orang di muka bumi ini yang tidak bisa memberanikan diri ada untuk mereka tanpa kata.
Pilihan saya hari ini jelas, saya siap menerima keadaannya apa adanya, dengan niat kecil, semoga pria itu merasakan sesuatu bahwa dari sekian banyak orang yang pergi meninggalkannya, toh masih ada satu orang asing yang duduk tenang memahami keadaannya.
Saya tidak tahu siapa dia dan dimana tempat tinggalnya, apa pekerjaan. Bisa saja dia menjadi seperti itu karena situasi bencana, atau karena ditinggal orang tuanya, atau juga ditinggal pacarnya.
Ya segala kemungkinan bisa saja menjadi sebab dari keadaan pria itu. Namun, satu yang tidak dikatakannya bahwa dia membutuhkan rasa penerimaan dari orang lain.
Saya percaya sekali bahwa dunia ini tidak pernah terpisah dari kenyataan-kenyataan yang tidak diinginkan seperti itu. Apa yang bisa kita lakukan?
Siapa saja yang bisa menerima keadaan orang-orang seperti itu? Haruskah orang seperti itu diisolir dan dijauhkan?
Demikian kisah kecil perjumpaan saya dengan pria sederhana, namun memberi inspirasi tentang menerima orang lain tanpa kata-kata. Menerima sebenarnya tak perlu dengan banyak kata-kata, apalagi kesal dulu baru menerima; nggak ada nilainya. Memilih untuk tidak lari dari sampingnya adalah suatu penerimaan yang jauh lebih besar, dari sebuah ungkapan penerimaan yang disertai dengan persyaratan macam-macam.Â
Salam berbagi, ino, 7.12.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H