Menulis dari kisah kekesalan orang lain
Semula saya pikir yang kesal pada hari ini mungkin cuma saya. Ternyata enggak juga sih. Ada banyak lagi orang lain yang kesal. Dalam perjalanan pulang saya sempat menunggu di sebuah stasiun Kereta di Frankfurt.
Tiba-tiba datanglah sebuah kereta ke arah Mainz. Cuma pada monitor tertulis, "Anda tidak boleh naik." Anehnya beberapa orang masuk ke dalam Kereta itu sebagaimana biasanya.
Ada seorang ibu yang sedang bingung, mau masuk tapi ragu-ragu. Dia lebih percaya pada petunjuk informasi itu bahwa tidak boleh masuk. Setelah tiga menit kemudian, Kereta itu berangkat, waduh saat itu, terdengar dari ibu itu hanya maki-makian saja sambil menunjuk-nunjuk monitor petunjuk informasi dan sesekali ke arah Kereta itu.
Saya juga tidak naik karena saya percaya pada petunjuk informasi itu. Saya hanya mendengar bagaimana kekesalan ibu itu jauh lebih parah dari saya pada pagi hari ini.
Saya pada saat itu sudah lebih tenang dan tidak ikut kesal lagi. Suara hati saya mengatakan seperti ini, "Cukuplah sekali dalam sehari kesalnya, masak kesal berkali-kali. Buang energi tahu."
Saya ditenangkan oleh suara itu dan terhibur juga sih, bahwa pada saat lihat orang kesal saya tidak menjadi kesal, tetapi mengamati kekesalannya hingga menjadi bahan tulisan nantinya.
Kesal itu godaan yang bisa muncul kapan saja
Dalam perjalanan pulang ke Mainz, tiba-tiba masuklah seorang pria berambut putih, rambutnya sebahu. Pada tangannya ada banyak sekali kantong plastik.
Ia duduk persis di samping saya. Sepanjang jalan main tanya terus, apakah Kereta ini ke arah Mainz. Saya sudah menjawabnya dua kali, toh masih tanya juga.Â