Beasiswa perlu menjadi program tetap di setiap sekolah sebagai instrumen pembangkit motivasi belajar siswa.
Tulisan ini lebih menyoroti pengalaman konkret menerima beasiswa dalam kaitannya dengan prestasi akademik dan juga bagaimana dilema dana bantuan pendidikan gratis saat ini.
Beda generasi, beda pula rasa bahasa. Sekurang-kurangnya saya pernah terkejut terkait istilah beasiswa yang dimaknai secara berbeda saat ini. Tentu, sangat berbeda rasa dan makna kata "beasiswa" kalau berangkat dari pengalaman saya pernah menerima beasiswa selama beberapa tahun.
Beasiswa pada tahun 1990-an tidak lain selain dimengerti sebagai bantuan untuk siswa yang punya prestasi akademik di sekolah. Prestasi akademik pada masa itu tidak hanya pada satu mata pelajaran, tetapi secara umum.
Seorang siswa yang juara dalam suatu pertandingan olahraga tertentu, dia tidak akan memperoleh beasiswa, tetapi dia bisa juga menerima bantuan langsung yang disebut sebagai hadiah.
Beasiswa pada masa itu lebih merupakan paket yang ditawarkan oleh pemerintah kepada siswa secara umum dengan standar nilai tertentu. Oleh karena itu, untuk memperoleh beasiswa tidak serta merta menurut selera guru wali kelas atau kepala sekolah.
Siswa yang berprestasi akan diusulkan sebagai calon beasiswa. Para calon bisa beberapa orang sesuai nominasi peringkat kelas, sejumlah yang dibutuhkan dari tawaran pemerintah dan sesuai dengan standar yang ada.
Kriteria yang masih sempat saya ingat untuk beasiswa pada masa Sekolah Menengah Pertama, sebagai berikut:
1. Lampiran nilai rapor selama 3 semester
2. Foto copy Akte kelahiran
3. Surat keterangan orangtua dari desa
4. Rekomendasi dari Kepala Sekolah
Empat persyaratan itu merupakan tuntutan yang saya ketahui untuk memperoleh beasiswa pada waktu itu. Namun uniknya bahwa seorang teman yang juga memperoleh beasiswa pada masa itu adalah anak dari seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS).Â
Artinya surat keterangan dari desa tentang keterangan orangtua sebenarnya tidak punya pengaruhnya untuk menentukan apakah seorang siswa bisa memperoleh beasiswa atau tidak. Jadi, saya percaya bahwa surat keterangan dari desa, hanya merupakan data pendukung terkait identitas dan bukan sebagai alasan untuk memperoleh beasiswa.
Saat pertama dipanggil Kepala Sekolah untuk membicarakan tentang kemungkinan memperoleh beasiswa, hati saya sudah berbunga-bunga. Gairah belajar langsung melonjak, meski sudah biasa bangun pagi-pagi dengan menggunakan lampu pelita saat listrik padam untuk belajar.Â
Kata beasiswa betul-betul dirasakan memotivasi saya untuk menjadi yang terbaik dalam prestasi akademik. Tidak hanya itu, sebagai anak petani rasanya terharu sekali bahwa seorang anak bisa meringankan beban biaya dari orangtua.
Beasiswa, sebuah nama yang membakar gelora belajar
Entahlah karena faktor apa, namun itulah kenyataan yang saya alami saat itu. Saya punya kepuasan tersendiri bahwa paket khusus seperti beasiswa itu bisa saya raih.Â
Sangat mungkin efek psikologis memengaruhi orangtua dan semua siswa ketika Kepala sekolah mengumumkan nama-nama yang menerima beasiswa. Rasa haru campur aduk saat itu.
Di tengah tepuk tangan teman-teman, dalam hati terbersit tekad yang kuat untuk tekun belajar. Ya, beasiswa karena prestasi akademik, bukan karena situasi keterbatasan ekonomi.
Prestasi akademik yang disertai dengan status sebagai penerima beasiswa waktu itu sungguh menggembirakan sekolah secara khusus ketika kami penerima beasiswa juga bisa memenangkan event perlombaan beberapa kali cerdas cermat di tingkat kecamatan. Ya, tidak berlebihan cuma di tingkat kecamatan dan kalah di tingkat kabupaten.
Sekurang-kurangnya pernah sekali dalam sejarah sekolah itu menang di tingkat kecamatan. Nah, sebenarnya saya hanya mau menegaskan bahwa beasiswa pada masa itu benar-benar karena prestasi akademik di sekolah.
Beasiswa pertama menjadi kompas untuk beasiswa berikutnya
Pengalaman pertama menerima beasiswa pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) rupanya menjadi penunjuk arah sekaligus motivasi tidak terhingga untuk jenjang pendidikan selanjutnya.Â
Bermodalkan energi ketekunan dalam belajar, saya akhirnya juga menerima beasiswa selama dua tahun di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Saat itu bagi saya sungguh terhormat bahkan bisa dikatakan sebagai rahmat. Suasana krisis ekonomi secara nasional menimpa Indonesia tahun 1998 merebak sampai ke desa-desa. Keluhan susah orangtua terdengar, pilihan merantau ke Malaysia hampir tidak lagi sebagai satu alternatif, tetapi pilihan pasti.
Dalam hati dan dada saya cuma ada tekad dan niat yang begitu kuat untuk mencari celah yang tepat supaya lolos dengan cara yang terhormat pada saat itu. Ya, lolos dari terpaan krisis 1998 sungguh tidak mudah.
Belajar dan belajar sambil mengharapkan cerita masa lalu tentang beasiswa bisa terulang. Entah apa, niat yang kuat dengan cucuran keringat serta kerja keras, saya pada akhirnya bisa menerima beasiswa selama dua tahun saat SMA.
Krisis boleh saja berjalan, namun secara pribadi saat itu saya sungguh berada di titik aman. Bagaimana tidak? Sebagai anak remaja di tingkat SMA saya sudah punya rekening bank dengan jumlah 500.000 rupiah.
Rupanya saya bukan satu-satunya anak SMA yang punya rekening sejumlah itu, selain bersama dengan tiga teman saya yang lainnya, yang juga menerima beasiswa. Ya, beasiswa yang diperoleh dengan persyaratan yang hampir sama.Â
Bukti prestasi akademik khusus di jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) rupanya menjadi alasan saat itu, mengapa saya seorang penerima beasiswa. Â Uniknya bahwa penerima beasiswa rupanya mirip seperti jagoan saat itu.
Setiap ada event lomba atau semacam cerdas cermat, maka peserta penerima beasiswa selalu menjadi target pertama sebagai peserta yang mengikuti lomba. Dari pengalaman itulah, maka saya secara pribadi selalu termotivasi untuk setia belajar dan siap sedia.
Ada rasa haru dan bahagia yang beda dari teman-teman lainnya setelah tamat membawa ijazah dan juga satu buku rekening dengan isinya sebesar 750.000 rupiah pada tahun 1999. Itulah modal ketekunan yang memberikan saya langkah lebih pasti untuk nekad melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi saat itu.
Lagi-lagi saya harus katakan beasiswa pertama menjadi semacam modal motivasi untuk selanjutnya. Beasiswa akhirnya saya paham bukan sebagai kesempatan untuk memperoleh uang bantuan pendidikan khususnya untuk anak yang orangtuanya tidak mampu, melainkan suatu peluang untuk membuktikan prestasi akademik karena ketekunan dan keseriusan belajar sehingga mendapat dukungan pemerintah.
Berangkat dari dua pengalaman itu, saya ingin menegaskan beberapa hal berikut ini:
- Beasiswa itu sangat baik untuk membangkitkan gairah belajar siswa dan siswa diberikan peluang untuk menjadi berprestasi secara terhormat karena usaha dan kerja kerasnya dihargai.
- Program beasiswa harus bisa dibedakan dengan program bantuan pendidikan untuk siswa yang dari latar belakang ekonomi tidak mampu.
- Perlu pembedaan jelas antara beasiswa dan sumbangan atau bantuan dana pendidikan gratis.
- Cara untuk memperoleh beasiswa pada masa itu adalah dengan serius belajar sehingga menjadi siswa yang berprestasi.
Catatan kritis: Beasiswa itu bukan bantuan dana pendidikan gratis sepanjang masa sekolah
Paling baik bisa saja jalur beasiswa lebih ditekankan daripada bantuan pendidikan tanpa kontrol prestasi akademis yang teratur dan terprogram. Meskipun demikian poin ini bisa saja berbeda-beda sesuai konteks masing-masing.Â
Hal ini karena bagi sebagian orang, mereka punya alasan bagaimana bisa berprestasi kalau dukungan ekonomi tidak cukup. Benar juga sih. Namun, kalau melihat konteks di beberapa tempat di Indonesia, ada program sekolah gratis, namun siswanya malah tidak mau ke sekolah dan orangtua sama sekali tidak peduli dengan situasi itu.Â
Berbanding terbalik dengan ketika ada tawaran beasiswa, orangtua memotivasi anak-anak mereka untuk tekun dan rajin belajar. Karena orangtua merasa dirugikan kalau anak-anak mereka tidak disiplin mengikuti proses belajar di sekolah. Mereka sudah mengeluarkan uang. Mumpung ada tawaran beasiswa, maka sebenarnya itu adalah peluang yang baik untuk direbut.
Saat ini terdengar kekaburan makna istilah antara beasiswa dan bantuan dana pendidikan yang secara merata diberikan kepada anak-anak yang orangtua mereka tidak mampu secara ekonomi. Di manakah sisi yang membanggakan secara akademis kalau istilah beasiswa (Stipendium) sama dengan bantuan dana pendidikan?Â
Di Jerman istilah beasiswa atau Stipendium diberikan oleh Yayasan atau Badan publik tertentu berupa bantuan keuangan bagi mahasiswa, seniman atau sejenisnya untuk jangka waktu tertentu atau untuk suatu karya tertentu. Jadi, jelas tetap ada kaitan dengan prestasi.
Dulu lain, sekarang lain. Ya, orang bisa saja berkutik dengan aneka dalil saat sekarang ini, namun hal-hal yang prinsip seperti soal kualitas dan prestasi akademis mesti harus tetap menjadi prioritas. Karena itu, saya lebih menganjurkan agar beasiswa tetap harus dibedakan dengan bantuan dana pendidikan.
Demikian dua pengalaman kecil masa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memberikan saya suatu perspektif tentang betapa pentingnya program beasiswa bagi siswa berprestasi. Tulisan ini bermaksud untuk memotivasi para siswa supaya terus berpacu dalam belajar sehingga prestasi itu nantinya akan dihargai pada saatnya.Â
Sesuatu yang lahir dari ketekunan belajar, pasti akan membawa hasilnya suatu saat. Orang tidak perlu menyesal kalau punya banyak waktu yang dihabiskan untuk belajar.Â
Belajar bukan untuk semata-mata bisa memperoleh beasiswa dan memburunya (scholarship hunter), tetapi supaya menjadi orang yang cerdas dan bijak. Beasiswa adalah peluang dan instrumen untuk memperoleh kesempatan belajar secara lebih baik lagi.
Salam berbagi, ino, 24.11.2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H