Pertama mengunjungi kota di bawah kaki gunung Alpen tahun ini. Kota tua yang hampir tidak mengenal musim panas. Guyuran gerimis dari tirai kabut melompat ke bumi tiada henti.
Hijau rumput-rumput tanpa perlu disiram air setiap hari. Suhu dan hawa alam berproses mengubah bumi hingga ibarat sebuah bingkai fiksi.
Tak ada yang mustahil bahwa bumi tampil dengan wajah ramah, hijau dan memesona mata dan hati. Bunga-bunga di pesisir kota mekar mengiringi jejak kuda-kuda sewaan mengelilingi kota.
Kepuasan pengunjung dijamin. Hati yang damai  mendarat di sana. Mata yang terpesona cinta pada alam tersingkap dari jeruji-jeruji besi yang dirambat bunga-bunga hijau di kota ini.
Pengunjung turun dari langit. Terbang bagaikan malaikat dari singgasana menyaksikan eksotis kota Interlaken di lereng gunung. Tawaran aksi yang tak biasa terus menggerogoti nadi dan adrenalin.
Dari ketinggian puncak gunung mereka melepaskan kaki, sejenak berjanji tak sentuh bumi untuk cuma menatapnya dari ketinggian dalam pelukan angin.
Bagaikan layang-layang mereka terbang dalam dekapan ramah angin di atas sana.Â
Aku cuma berdiri di belakang jeruji besi pada sebuah taman kecil.
Mencoba menatap keindahan selera mereka yang bagaikan malaikat turun dari langit. Bunga-bunga terus hening di pesisir kota yang riuh oleh gelora emosi ingin terbang lebih tinggi lagi lalu datang ke bumi.
Sorotan lensa kecil menyentuh nalar fiksi entah kapan akan kutulis sebuah puisi. Puisi kenangan tentang jejak kaki dalam irama waktu di Swiss tempo hari.