Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kaju Keta, Ritual Adat Pembangunan Rumah Orang Flores dan Paradigma Hubungan Manusia dengan Alam

19 November 2021   11:35 Diperbarui: 19 November 2021   23:05 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Kayu dingin (Kaju Keta) | Dokumen pribadi oleh Ino

"Lingkungan alam harus dijaga dan dilestarikan, demikian juga makna dan pesan kehidupan darinya perlu didengungkan."

Konteks masyarakat adat di Flores umumnya memiliki aneka ritual adat. Salah satu ritual adat yang sangat penting adalah ritual adat pembangunan rumah tempat tinggal bagi masyarakat. 

Ritual adat itu begitu kental dalam kehidupan masyarakat Flores, bahkan pembangunan rumah-rumah ibadat terkadang dipadukan juga dengan ritual adat. Perpaduan itu karena dari sisi tujuan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran agama tertentu.

Ritual yang terkait dengan pembangunan rumah sudah menjadi ritual tetap dalam setiap momen pembangunan rumah. Cerita tentang pembangunan rumah pada prinsipnya sudah langsung berurusan dengan adat.

Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan ritual adat pembangunan rumah. Ritual itu umumnya hampir sama dari setiap daerah di Flores. Meskipun demikian, dalam tulisan ini, saya lebih fokus pada ritual adat pembangunan rumah menurut adat Ende, Flores, NTT. 

Beberapa tahap penting yang diuraikan dalam tulisan ini, yakni:

1. Neka tana

Tahap pertama dalam ritual pembangunan rumah secara adat adalah Neka tana atau melukai tanah oleh tuan tanah.  Bagi sebagian orang yang hidupnya sangat kuat dipengaruhi adat, tahap neka tana merupakan tahap pembuka yang sangat penting. Tahap pembuka ini diyakini sebagai bentuk sapaan pada tanah yang dalam ungkapan adat disebut sebagai ine tana atau ibu tanah atau juga ibu bumi. 

Dari ungkapan adat itu terasa sekali bagaimana sikap budaya orang Flores umumnya dan secara khusus sikap budaya orang Ende pada tanah khususnya. Tanah dilihat sebagai sang ibu yang memberi kehidupan, ketenangan dan kenyamanan.

Keyakinan adat itulah yang membuka kemungkinan pemahaman positif terkait ritual adat neka tana atau melukai tanah. Melukai tanah tidak dimengerti sebagai satu bentuk kekerasan pada alam, tetapi sebagai ungkapan salam atau dalam tutur adat disebut sebagai sodho nosi atau penyampaian formal pada ibu tanah.

Ritual adat neka tana itu akhirnya membangkitkan harapan datangnya dukungan dari semua embu kajo atau nenek moyang yang sudah kembali ke tanah. Dukungan itu berkaitan langsung dengan harapan supaya dalam proses pengerjaannya akan berlangsung dengan baik.

Oleh karena itu, pihak yang punya wewenang terkait ritual neka tana adalah mereka yang diakui sebagai tuan tanah dan mosalaki atau pemangku adat. Mereka itu diakui sebagai pengantara untuk menyampaikan niat baik dan ujud mulia pemilik rumah kepada pendahulu yang menghuni wilayah itu.

Ritual adat Ende untuk peletakan batu pertama | Dokumen pribadi oleh Joe Justice
Ritual adat Ende untuk peletakan batu pertama | Dokumen pribadi oleh Joe Justice

2. Pusi watu 

Tahap pusi watu atau meletakan batu dilakukan setelah proses awal neka tana  sudah berlangsung. Pusi watu umumnya terjadi pada pagi hari sebelum matahari terbit. Mengapa seperti itu? Ternyata masyarakat adat punya kepercayaan bahwa saat teduh itu hanya pada pagi hari ketika matahari belum terbit.

Ritual pusi watu atau peletakan batu dilakukan mendahului terbitnya matahari di ufuk timur. Hal itu untuk memberikan jaminan bahwa batu yang akan diletakan sebagai batu dasar pada setiap sudut rumah merupakan batu yang dingin.

Konsep tentang kesejukan rumah tangga sudah mulai dibangun sejak awal pembangunan sebuah rumah dengan keyakinan-keyakinan adat mereka. Rumah yang  dibangun untuk tempat tinggal itu berdiri di atas dasar yang sejuk dan bukan di atas dasar batu yang panas. 

Oleh karena itu, sering dalam kaitan dengan batu dasar yang sejuk itu, masyarakat adat sedikit lebih modern memadukannya dengan keyakinan agama seperti meminta pemimpin agama memberkati batu-batu itu.

Air berkat bagi masyarakat adat merupakan tanda konkret dari ungkapan adat Ende sendiri sebagai sewu petu pera ara atau mendinginkan dan memadamkan yang panas. Lagi-lagi ungkapan adat sewu petu pera ara dilakuan dengan tujuan agar penghuni yang akan mendiami rumah itu bisa mengalami kesehatan, ketenangan dan kedamaian, tanpa ada gangguan apapun.

3. Teka mangu

Tahap ketiga dalam pembuatan rumah adalah teka mangu atau pemahatan tiang utama. Teka mangu atau pahat kayu yang akan menjadi tiang utama rumah hanya dilakukan oleh pihak saudara dari ibu atau pihak om dalam keyakinan adat Ende. Umumnya pihak om hanya melakukannya secara simbolis dengan beberapa kali memahat, selanjutnya akan dipahat oleh tukang yang dipercayakan.

Kaju keta atau kayu dingin | Dokumen pribadi oleh Ino
Kaju keta atau kayu dingin | Dokumen pribadi oleh Ino

Pada saat pihak saudara itu selesai melakukan secara simbolis, maka ponaan (pemilik rumah) memberi sesuatu untuk om kandungnya, entahlah berapa, namun sepantas dan sebisanya. Itulah yang namanya adat. Adat selalu punya upahnya. Upah sebagai tanda penghargaan dan bukan sebagai bayaran. 

Hal lain yang tidak kalah pentingnya terkait mangu atau tiang utama itu adalah terkait jenis kayu. Kayu yang dipakai sebagai mangu atau tiang utama untuk sebuah rumah hanya satu jenis kayu yang dikenal dengan sebutan kaju keta atau kayu dingin.

Kaju keta atau kayu dingin dijadikan tiang utama oleh karena beberapa hal ini, pertama, kaju keta memiliki konotasi nama dengan yang dingin dan mendinginkan yang panas. Kedua, kaju keta pada dasarnya merupakan jenis kayu yang sangat kuat dan berisi. Tidak heran kaju keta itu sendiri sangat berat meskipun  ukurannya kecil. 

Kaju keta itu dipakai sebagai tiang utama yang berfungsi menopang keseluruhan rangka atap rumah. Sekali lagi, fungsi kayu itu sendiri tidak pernah bergeser dari prinsip dasar tentang rumah sebagai tempat orang mengalami kesejukan dan juga mendinginkan yang panas dari luar.

Uniknya bahwa kesejukan itu bukan hanya sebatas ada dalam keyakinan hati dan pikiran manusia, tetapi juga dengan melibatkan material dari alam sebagai simbol bagi keteduhan hidup itu sendiri. Keta atau dingin, sejuk bukan hanya sebuah nama, tetapi suatu keyakinan yang memberikan keteduhan, kesejukan dan kedamaian bagi manusia.

Paradigma hubungan masyarakat adat dengan alam

Rupanya dari kenyataan adat ini, bisa ditarik benang merah tentang paradigma hubungan manusia dengan alam yang begitu akrab dan dekat. Secara simbolis memang bermakna sangat mendalam antara kenyataan alam yang dipakai sebagai simbol kehidupan masyarakat adat di satu sisi, dan pesan-pesan kehidupan di dalamnya pada sisi yang lainnya.

Menariknya lagi bahwa kaju keta itu sendiri tidak pernah ditanam oleh masyarakat di sana. Nah, artinya bahwa alam itu sendiri begitu mendukung kehidupan dan kebutuhan masyarakat yang benar-benar meyakini adanya tumbuh-tumbuhan yang punya manfaatnya bagi masyarakat. 

Pohon kaju keta yang tumbuh liar di hutan tetap saja cukup untuk setiap orang yang membangun rumahnya. Ya, kelimpahan alam yang tidak bisa diukur dengan pemahaman manusia yang terbatas.

Meskipun demikian, orang perlu lebih kritis memaknai hubungan manusia dalam hal ini masyarakat adat dengan lingkungan alam sekitarnya. Logika sederhananya seperti ini, jika jenis kaju keta itu yang paling penting dan dibutuhkan, maka orang perlu menanam dan melestarikannya. 

Nah, perspektif tentang menanam dan melestarikan pohon kaju keta itu yang belum sampai ke konsep dan cara berpikir masyarakat adat di sana. Padahal jenis kaju keta itu mungkin kayu berkelas dari sisi kualitasnya.

Jenis kaju keta itu tidak bisa dimakan ngengat lho. Kayu yang begitu kuat, tahan panas dan basah. Nah, sebenarnya bukan cuma hubungan jenis kayu yang bermakna simbolis bagi kehidupan masyarakat adat, tetapi juga terkait soal kelestarian lingkungan alam yang secara lokal unik dan berkualitas.

Dalam hal ini, masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang keseimbangan cara berpikir antara manfaat dan makna di satu sisi dan kelestarian pada sisi lainnya. Hal ini sangat penting untuk menghindari tindakan eksploitasi lingkungan karena hanya memperhitungkan segi manfaat dan makna saja, lalu mengabaikan kelestarian lingkungan.

Demikian ulasan singkat terkait tiga tahap ritual adat pembangunan rumah dalam konteks adat Ende dan paradigma hubungan masyarakat adat dengan lingkungan alam. Tentu, masih ada aspek lainnya yang belum disoroti dalam tulisan ini. 

Hal yang penting digarisbawahi adalah bahwa kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat tetap saja terhubung dengan lingkungan alam sekitarnya. Oleh karena itu, sangat diharapkan adanya keseimbangan antara manfaat dan makna dari penggunaan simbol-simbol dari alam dan tindakan praktis yang mendukung kelestarian lingkungan alam. 

Salam berbagi, ino, 19.11.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun