Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Gandeng Sana-Sini" dan Brennpunkt untuk Membangun Personal Branding Calon Presiden 2024

12 November 2021   14:47 Diperbarui: 12 November 2021   14:57 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandeng sana-sini dan brennpunkt untuk membangun personal branding | Dokumen diambil dari: Isbc.lu

Lakukan kebaikan kepada rakyat bukan pada saat Anda membutuhkan suara mereka, tetapi ketika mereka membutuhkan bantuan nyata entah dari siapa saja.

Tema personal branding saat ini  bisa dikatakan lagi Brennpunkt atau titik fokus. Sorotan tema Kompasiana kali ini sangat menarik karena berkaitan langsung dengan kasak kusuk tentang calon Presiden RI 2024 nanti.

Wacana tentang calon presiden tidak hanya menjadi menu sajian partai-partai, tetapi juga pendukung-pendukung mereka bekerja dengan berbagi cara dan mencoba menyiapkan sajian itu kepada publik.

Tidak sedikit yang menyiapkan sajian dengan menebarkan isu-isu anti sana sini, dan juga mulai dengan janjian pertemuan pribadi dengan tokoh ini dan itu di mana saja. Biasa sih sebenarnya, ah itu lagu lama di Indonesia.

Tulisan ini lebih merupakan analisis bebas atas tawaran tema terkait isu bahwa Presiden Jokowi membuka kesempatan kepada para menterinya untuk promosi diri dan mencalonkan diri menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden periode mendatang ini.

Strategi bijak Presiden Jokowi

Kok bisa ya, Jokowi memberikan kesempatan promosi diri kepada para menterinya? Terdengar memang agak aneh bukan? Saya termasuk salah seorang yang merasa aneh ketika membaca ulasan singkat topik pilihan itu.

Namun, setelah saya masuk dalam keheningan dan mencoba melihat itu dengan lebih tenang, tampak bahwa apapun itu namanya merupakan cara yang bijak dari Jokowi kalau tidak disebut sangat provokatif.

Cara bijak itu agar para menteri bisa secara terbuka menunjukkan personal branding mereka sejak sekarang dan bukan dibuat-buat hanya pada waktu kampanye. Bukankah membangun personal branding itu membutuhkan waktu?

Tentu tidak luput dari sisi yang provokatif, artinya dalam kurun waktu yang ada ini, biar publik tahu bahwa siapa saja yang punya selera besar menjadi Presiden, namun tanpa personal branding yang diakui publik. Ya, bisa saja akan tampak jelas siapa-siapa saja sih yang nafsu besar, tetapi personal brandingnya lemah.

Dua sisi itulah yang menjadi alasan mengapa keterbukaan Jokowi itu dikatakan bijak sekaligus provokatif. Belum lama membaca tema tentang personal branding ini, saya sudah sempat menyaksikan seorang menteri yang sudah bertemu seorang ustad meminta nasihat dan lain-lain.

Rasanya gaya itu benar-benar gaya klasik yang bisa dikatakan terjebak dalam perangkap Jokowi. Pemilih yang adalah rakyat Indonesia ini sudah cerdas melihat dan mengamati dari waktu ke waktu.

Apakah trik gandeng sana -sini dapat menaikan personal branding calon?

Personal branding setiap calon sebenarnya tidak bisa lagi bersandiwara di depan mata rakyat yang setiap saat sedang asik mengakses segala informasi. Personal branding itu tidak bisa dipisahkan dari rekam jejak digital seseorang.

Artinya, pola gandeng sana, gandeng sini itu wajar saja dan itu rupanya benar-benar suatu instrumen politik yang secara sangat halus Krypto memanipulasi suara dan personal branding orang lain.

Hanya orang yang belum cerdas dan kritis bisa mengakui bahwa personal branding calon itu adalah hasil dari koalisi dan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh agama. 

Personal branding tokoh agama sangat jelas tidak sama dengan personal branding seorang tokoh politik. Rupanya ada brennpunkt lain di tengah kebebasan untuk promosi diri saat ini.

Titik fokus yang panas saat ini adalah bahwa masing-masing orang coba membangun personal branding  dengan cara gandeng pemimpin agama. Nah, politik dengan gaya seperti itu sebenarnya sama sekali bukan menaikan derajat branding, melainkan bisa sebaliknya justru menurunkan branding.

Personal brand para calon sebetulnya dibangun dengan kejujuran hati sebagai seorang pemimpin yang benar-benar berpihak pada rakyat dan kesejahteraan umum. Tapi rasanya susah banget, karena di Indonesia untuk membangun personal branding dengan bungkusan kepentingan terpilih menjadi calon Presiden sama dengan membutuhkan miliaran rupiah untuk nasi bungkus.

Nah, jenis politik nasi bungkus itu juga jelas-jelas bukan merupakan cara yang baik untuk membangun personal branding. Politik nasi bungkus itu sama dengan memanipulasi rakyat sederhana yang susah dan lapar atas nama kepentingan jumlah suara saja.

Mungkinkah orang belajar membangun personal branding dari seorang Hercules?

Kalau memang mau berbuat baik, ya lakukanlah sejak sekarang. Saya akhir-akhir ini melihat bagaimana kisah terkait Hercules, penguasa Tanah Abang itu melalui media sosial tentangnya. 

Di sana ada hal yang menarik bahwa Hercules tidak punya maksud apa-apa entah suatu saat menjadi calon walikota atau apa, tetapi personal branding mulai diketahui orang. Setiap minggu ia pasti memberi makan untuk anak-anak pesantren, bahkan ia melakukan aksi nyata seperti puasa dan memberikan makanan untuk orang-orang susah di pinggir jalan.

Bagaimanapun sederhana cara yang dilakukannya, namun bias brandingnya sangat besar, bahkan sangat menarik karena semula orang mengetahui masa lalunya, tetapi sekarang ternyata tidak seperti kebanyakan kesan orang tentangnya.

Singkatnya personal branding dibangun dengan ketulusan hati dan bukan untuk suatu tujuan tertentu cuma dalam kurun waktu tertentu. Hercules sudah lakukan itu sejak dulu, ya sejak namanya disebut dengan konotasi yang tidak sedap, ia punya personal branding di mata orang kecil.

Ketokohan itu tidak selamanya harus punya cerita sejak kecil dia orang baik, tetapi juga bisa muncul dari cerita tentang orang-orang yang benar-benar berbalik dari dunia kehidupan masa lalunya. Nah, orang-orang seperti itu tentu unik dan berbeda.

Indonesia mungkin lebih membutuhkan orang seperti Hercules dalam arti pernah menjadi preman untuk orang-orang kecil dan bukan menjadi orang santun tapi raja korupsi. Nah, kebanyakan yang terlihat saat ini adalah calon pemimpin yang berbicara begitu santun sambil mengutip sana sini ayat Kitab Suci, tapi paling-paling yang dikejarnya nanti cuma uang dan kekuasaan.

Personal branding dan media sosial pendukungnya

Rotasi perpolitikan di Indonesia sudah hampir terlihat sama gaya dan cara setiap calon, kecuali orang-orang yang benar-benar punya opsi peduli. Calon yang punya hati peduli pada rakyat dan mengutamakan kesejahteraan dan kemajuan Indonesia, tidak akan cemas melakukan kebaikan entah di mana saja. 

Kebaikan yang dilakukannya akan dengan sendirinya berbicara atas nama personal brandingnya dan bukan banyak berbicara di media seakan-akan melalui cara itu orang akan tahu bahwa ia punya branding yang dapat dipercaya. Sekali lagi, personal branding para calon saat ini akan diketahui dari apa yang pernah dilakukannya dan direkam media bukan cuma hari ini, tetapi juga sejak kemarin-kemarin.

Media pendukung akan sangat berpengaruh dalam membangun personal branding para calon. Meskipun demikian, semua itu harus dilakukan secara gencar bukan sekarang, tetapi harus sejak lama, sejak namanya belum dijagokan.  

Kalau sebagian besar rakyat Indonesia menggunakan kriteria seperti itu, maka waktu dan kesempatan yang diberikan Jokowi kepada para menteri untuk promosi diri sebenarnya waktu bagi para calon untuk membongkar kepalsuan branding. Mengapa demikian?

Ya, personal branding para calon akhirnya dimengerti begitu sederhana oleh rakyat sebagai "personal branding musiman." Ya, cuma karena ada 2024 itu lho, makanya dia terlihat berubah ramah, baik, santun, gandeng sana-gandeng sini, video pertemuan dengan tokoh ini dan itu. 

Media pendukung akan begitu menggemparkan setiap apa saja yang dilakukannya. Ya, oke oke lah, namanya juga orang punya kebebasan. Namun, poin yang penting adalah bahwa orang tidak boleh melupakan tentang "kriteria waktu melakukan kebaikan."

Kalau sekarang para calon terburu-buru menebar pesona untuk membangun personal branding, apakah itu bisa dipercaya rakyat?Kepastian cara membangun personal branding yang tepat dan dapat dipercaya itu mesti sejak periode-periode sebelumnya. 

Dengan kata lain, jika seseorang tidak bosan-bosannya melakukan sesuatu yang baik bagi kepentingan rakyat bertahun-tahun lamanya, maka bibit kepercayaan atas personal brandingnya akan terus mekar dan membesar.

Bagaimanapun juga analisis ini tetap merupakan perspektif pribadi yang hanya menyoroti sisi-sisi tertentu saja, masih ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh para calon Presiden 2024 dan perlu dikritisi oleh siapa saja. Lakukan yang terbaik untuk bangsa dan negeri ini dengan citra diri yang jujur pada rakyat dan terpuji di mata rakyat.

Salam berbagi, ino, 12.11.2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun