Langkah yang menarik yang dilakukan oleh pemerintah Cina adalah mendirikan dan menyediakan sarana pelatihan aneka keterampilan anak-anak dan pengembangan bakat-bakat mereka. Pertanyaan yang belum dijawab oleh pemerintah Cina sendiri adalah apakah cara pembatasan dan atau penghapusan Jiwa Parenting itu bermanfaat menjadi generasi muda Cina tetap orang yang cerdas dan memiliki aneka kemampuan?
Pada prinsipnya bahwa kecemasan terbesar orang tua di Cina adalah takut anak-anak mereka kalah bersaing dalam kompetisi lokal dan global.
Adakah Jiwa Parenting di Indonesia?
Kenyataan itu memunculkan pertanyaan spontan dalam pikiran saya, apakah fenomena itu sudah ada juga di Indonesia? Kayaknya sudah ada khususnya di kota-kota besar. Cuma mungkin alasan yang menjadi latar belakangnya berbeda, atau mungkin tidak begitu ekstrim seperti yang terjadi di Cina.
Bagaimanapun intensitas ekstrim atau tidak, tetap saja fenomena itu merupakan hal yang menarik untuk dilihat lebih dekat lagi ke dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Secara positif bisa saja menjadi refleksi dengan pertanyaan, berapa persentase keuangan yang disiapkan orang tua untuk pendidikan ekstra untuk anak-anak?Â
Saya belum yakin bahwa di Indonesia sudah menyiapkan dana sampai 25% untuk pendidikan ekstra anak-anak mereka di rumah. Sekurang-kurangnya wilayah luar dari Jakarta sangat mungkin masih dengan gaya yang lama, "anak sekolah minta uang, lalu orang tua baru mencari uang."Â
Tentu berbeda dengan konteks para pegawai yang selalu punya uang, sehingga setiap bulan sudah bisa menyisihkan uang untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka. Meskipun demikian, kira-kira berapa persen uang yang disiapkan untuk pendidikan ekstra anak-anak, tetap saja menjadi pertanyaan yang menarik untuk dipikirkan.
Saya yakin fenomena Chicken Parenting dalam artinya yang ekstrim seperti di Cina itu belum ada di Indonesia, namun orang tua yang memikirkan anak-anak mereka supaya memiliki kemampuan lebih itu sudah cukup banyak. Alasannya tentu berbeda dengan di Cina, di Indonesia mungkin lebih dipengaruhi oleh tuntutan untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang lebih baik, tentu bukan lebih menonjol karena persaingan orangtua atau gengsi orang tua.
Dari kenyataan fenomena Jiwa Parenting di Cina, orang sudah bisa membayangkan bagaimana target hidup anak-anak di Cina dan betapa panasnya hawa kompetisi sosial di sana. Bisa juga dibayangkan berapa banyak anak-anak yang terkena dampaknya, ya anak-anak yang terkena gangguan psikis (Psychische Stoerung).
Terkait gangguan psikis rupanya di Indonesia punya alasan yang berbeda, anak-anak Indonesia bisa juga terganggu secara psikis bukan karena padatnya kegiatan ekstra yang muncul dari keinginan orang tua, tetapi muncul dari guru-guru di sekolah melalui berbagai kegiatan online atau bahkan muncul dari anak-anak itu sendiri.
Di Indonesia rupanya berbanding terbalik dari yang terjadi di Cina. Kalau di Cina Jiwa Parenting, maka di Indonesia mungkin Jiwa Teaching. Coba perhatikan anak-anak Indonesia saat ini sampai tengah malam sibuk dengan tiktok untuk mengajarkan sesuatu kepada publik, yang isinya tidak tahu baik apa enggak.