Langkah-langkah bijak bisa ditempuh dari konfrontasi kritis dengan fenomena lain di tempat lain.
Anak adalah kebanggaan orang tua, bahkan anak yang sukses adalah kewibawaan orang tua. Demikianlah kurang lebih kalau dicermati kesan populer orang tua umumnya tentang anak mereka sendiri.Â
Tentu sedikit berbeda dengan konteks Eropa yang sebagian besar pasangan lebih memilih pelihara anak anjing daripada punya anak. Anak bagi mereka bukan sekedar punya anak, tetapi harus punya rencana yang jelas kapan mau punya anak dan bagaimana masa depannya.
Anak bagi mereka dan sebagian besar orang tidak terlepas dari konsep tentang tanggung jawab dan masa depannya. Mungkin cuma di negara-negara berkembang yang tanpa terlalu pikir panjang bagaimana nasib anak-anak mereka nanti.
Bahkan ada ungkapan "Banyak anak, banyak pula rezekinya." Prinsip seperti itu benar-benar sudah terkubur lama di Eropa. Umumnya di kalangan orang tua yang menghendaki punya anak, anak mereka maksimal 3 orang.
Praktisnya saya cukup sering berjumpa dengan keluarga Jerman yang punya anak satu sampai dua orang. Nah, anak-anak Eropa terlihat lebih siap meraih masa depan yang lebih baik, mungkin karena latar belakang kehidupan umumnya. Konteks negara maju telah menjadikan mereka sudah lebih siap untuk menempuh masa depan yang lebih baik.
Namun, saat ini rupanya tidak begitu saja seperti itu lagi, ada fenomena yang dikenal dengan sebutan "chicken Parenting." Ya, fenomena yang terhubung dengan bagaimana "sikap pengasuhan orangtua" terhadap anak-anak mereka.
Chicken Parenting, apa itu?
Fenomena yang diberi nama "Jiwa Parenting" atau "Chicken Parenting" itu pertama dipraktekan di Cina. Istilah itu dipakai untuk menggambarkan tentang budaya pengasuhan anak-anak, dimana orang tua secara obsesif terlibat aktif dalam kehidupan anak-anak mereka dengan tujuan supaya anak-anak mereka memiliki sebanyak mungkin kemampuan-kemampuan hebat.
Semula nama "Jiwa" tentu bukan arti kata bahasa Indonesia, tetapi kata "Jiwa" pertama kali dipakai terkait dengan proses terapi pada anak-anak dengan suntikan darah ayam. Terapi itu diyakini bisa mendorong anak-anak agar lebih punya semangat dalam belajar. Menariknya bentuk terapi itu saat ini sudah dilarang di Cina.Â