Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

The Big Quit, Dilema dan Pendidikan Lanjut Petani Milenial

6 November 2021   16:30 Diperbarui: 8 November 2021   02:00 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petani millennial menggunakan teknologi mesin di desa | Dokumen pribadi oleh Ino
Petani millennial menggunakan teknologi mesin di desa | Dokumen pribadi oleh Ino

Rasanya milenial boleh-boleh saja, tapi orang tidak boleh lupa disiplin kerja, disiplin keuangan dan disiplin analisis lapangan dan pasar. Tanpa kemampuan disiplinan itu, petani milenial di desa-desa tetap saja mirip dengan badut.

Sangat diharapkan bahwa fenomena "The Big Quit" itu sendiri berubah menjadi sisi positif untuk mengisi kekosongan isi dari gaya milenial petani desa, melalui sharing pengalaman (Austausch) dari orang-orang yang terkena PHK. Bagaimanapun milenialnya petani di desa, tetap saja jauh lebih milenial orang-orang yang terkena PHK dari kota.

Peluang ke depan: suatu kolaborasi yang seimbang

Nah, kolaborasi dan koordinasi yang komunikatif antara orang-orang yang terkena dampak dari "The Big Quit" dan petani millennial di desa bisa saja membawa dampak positif pada keseimbangan antara wawasan, pengalaman lapangan dan kemampuan analisis situasi pasar.

Dalam dua fenomena itu "The Big Quit" dan menjadi petani milenial terlihat suatu harapan dan kebutuhan besar yakni kesempatan untuk berkembang dan maju dalam dunia usaha mereka secara mandiri.

Contohnya praktis, seorang teman yang terkena PHK dan kembali ke desa. Di sana ia tidak bisa serta merta punya lahan, dan bisa langsung terjun ke lapangan usaha seperti biasanya petani milenial yang ada di desa.

Nah, mula-mula ia menceritakan hal-hal baru yang ditemukannya di kota-kota, di saat cuaca tidak pasti, ya salah satu yang melahirkan dilema petani milenial di desa itu, tentu tawaran gagasan seperti konsep Hidroponik sangat menarik. 

Artinya bahwa menjadi petani milenial tidak saja hanya terlihat "gaul" secara fisik dan penampilan, tetapi juga memiliki kreativitas baru yang mengubah situasi sulit kepada peluang usaha baru.

Hidroponik tentu tentu perlu membutuhkan lahan yang besar. Tidak harus musim panas dulu untuk menanam sayur di kebun sayur. Konsep Hidroponik bisa menjadikan usaha para petani bisa berjalan khususnya ketika musim dan perubahan cuaca tidak pasti.

Nah, mampukah petani di desa mau belajar lagi? Nah, itulah yang bagi saya ukuran dari "kemilenialan" petani di desa itu harus dilengkapi dengan kemauan untuk belajar lagi hal-hal baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun