Ungkapan itu membuat saya ingat hari-hari di Universitas. Kamar makan tersusun barisan meja yang begitu banyak. Semeja bisa enam orang duduk di sana.Â
Jam makan siang sudah dibuka sejak jam 12.00 siang sampai jam 12.30. Di kamar makan itu terlihat wajah berbeda, oleh karena mahasiswa dari berbagai negara ada di sana.
Bukan cuma soal beda warna kulit, tapi di dalam ruangan itu terlihat beda keyakinan. Namun, meja-meja makan telah menjadi simbol kebersamaan kami.Â
Di sana tidak ada batas dan dinding perbedaan yang saling menyingkirkan, tetapi cuma terlihat semeja cuma ada orang-orang yang berbeda-beda. Kenyataan seperti itu sudah lama dan begitu sering saya saksian, namun saya tidak pernah sampai pada ungkapan  "Die Welt an einem Tisch."
Tentu merupakan kebahagiaan sendiri bahwa pengalaman yang menyenangkan dan penuh arti itu telah mendahului sebuah ungkapan yang ditemukan secara kebetulan. Ternyata, berada dalam satu lingkaran meja dengan orang berbeda itu menjadi simbol dari ungkapan "Die Welt an einem Tisch".
Di sana tidak hanya ada percakapan, tetapi ada juga perhatian dan pengertian. Di sana ada rasa bahwa saya berbeda, namun saya ada di depan dan di sampingnya.
Yang lain pernah mendengar dan berbicara, yang lain lagi pernah diam dan bertanya. Ada juga letupan canda dan tawa tanpa ocehan yang melecehkan sesama.
Saling percaya dan hormat satu dengan yang lain tumbuh dalam iklim meja makan dari kehadiran yang berbeda-beda itu. Ya, dalam satu meja, kami belajar tentang apa yang tidak diprogramkan secara formal di bangku kuliah.
Dunia dalam satu meja adalah simbol dari kemajuan teknologi komunikasi saat ini
Fenomena yang menarik adalah setelah makan siang, kami masih punya waktu untuk duduk-duduk sambil menunggu antrian secangkir kopi panas dari mesin otomatis.
Satu per satu mulai mengeluarkan Handphone (HP) masing-masing. Ternyata setiap orang mengakses informasi bukan di negara di mana kami tinggal, tetapi pada saat yang sama, masing-masing orang mengakses informasi dan berita dari negaranya sendiri.