Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Amoris laetitia" dan Perkembangan Budaya Zaman Kita

21 Oktober 2021   19:34 Diperbarui: 21 Oktober 2021   19:34 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang Amoris laetitia dan perkembangan budaya modern | Dokumen diambil dari berita.upi.edu

Perkembangan zaman bisa saja melesat begitu cepat, namun orang tidak boleh lupa bahwa semuanya perlu memberikan kemungkinan pada kegembiraan hidup.

Kegembiraan cinta merupakan tema penting yang terhubung dengan perkembangan zaman saat ini. Pertanyaan yang bisa diajukan di sini adalah apakah di tengah kemajuan zaman yang semakin modern yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi saat ini bisa menghasilkan kegembiraan bagi manusia? Apakah kemajuan zaman ini bisa memberikan efek positif bagi kehidupan rumah tangga atau keluarga kita?

Bagian kedua dari ulasan singkat tentang "Amoris laetitia" akan disajikan juga tentang kritik Paus Fransiskus terhadap perkembangan zaman saat ini. Beberapa poin penting dalam "Amoris laetitia" terkait perkembangan zaman di satu sisi dan terkait perempuan di sisi lain, dapat dilihat dalam aspek-aspek yang disoroti Paus Fransiskus sebagai berikut:

Kritik Paus Fransiskus dalam AL terhadap perkembangan budaya zaman kita

Dalam bab kedua, Paus Fransiskus ingin melihat situasi keluarga saat ini untuk tetap berpijak di atas dasar yang kokoh"(AL 6). Untuk tujuan ini, ia merangkum pengalaman terpilih dari para Bapa Sinode tentang realitas keluarga di semua bagian Gereja universal, yang menurutnya sangat mengkhawatirkan (AL 31).

Ada dua kritikan dalam AL:

1. Individualisme yang berlebihan (ausufernden Individualismus)

Paus Fransiskus mengungkapkan kritik yang jelas terhadap perkembangan budaya zaman kita, tetapi tidak menyayangkan kritik diri terhadap perkembangan gerejawi yang tidak diinginkan. Jadi dia menyebutkan di dalam AL masalah individualisme yang berlebihan", serta ritme kehidupan hari ini, stres, struktur sosial dan organisasi kerja. "Faktor-faktor ini akan membahayakan kemungkinan keputusan yang bertahan lama" (AL 33).

2. Budaya sementara (Kultur des Provisorischen)

Paus Fransiskus mengkritik juga tentang budaya sementara" di mana orang tidak lagi terikat: Itu berarti bahwa cinta dapat dinyalakan dan dimatikan dan bahkan dengan cepat diblokir atas kebijaksanaan konsumen, seperti di jejaring sosial" (AL 39).

Padahal amanat gereja dirumuskan dengan jelas, Sebagai orang Kristen kita tidak boleh menahan diri dari berbicara mendukung pernikahan, hanya agar tidak bertentangan dengan persepsi hari ini, untuk menjadi modis atau keluar dari perasaan rendah diri dalam menghadapi penurunan moral dan manusia." (AL 35).

Kegagalan Gereja sendiri (Versagen der Kirche)

Paus mengakui kegagalan Gereja sendiri. Yang terakhir sering mewakili keyakinan mereka dengan cara yang justru memancing kebalikannya (AL 36). Ini termasuk, misalnya, desakan pada pertanyaan doktrinal, bioetika dan moral" tanpa memberikan dukungan yang cukup kepada keluarga pada saat yang sama (AL 37).

Kesetaraan antara pria dan wanita

Di antara tantangan yang dihadapi keluarga saat ini, Paus menyebutkan juga, antara lain, kesetaraan antara pria dan wanita, baik dalam pekerjaan maupun dalam membesarkan anak. Paus Fransiskus menyatakan bahwa sementara ada peningkatan yang luar biasa dalam pengakuan hak-hak perempuan dan partisipasi mereka di ruang publik, masih banyak yang harus dilakukan di beberapa negara" (AL 54).

Sementara itu masih bisa dilihat sisi lain dari budaya patriarki di mana perempuan dianggap sekunder masih berlaku hingga saat ini. Konteks budaya Indonesia bisa dilihat dengan nyata dan begitu mudah ditemukan. Konsekuensi positif dari emansipasi dan feminisme harus diapresiasi dengan tepat.

Ideologi gender 

Paus Fransiskus juga mendedikasikan sebuah paragraf terpisah untuk ideologi yang biasa disebut gender." Di dalamnya ia menjelaskan bahwa meskipun mempertimbangkan kompleksitas kehidupan" seseorang tidak boleh memisahkan gender biologis dan kreatif dari peran sosial budaya. "Jangan sampai kita terjerumus ke dalam dosa ingin menggantikan Sang Pencipta! Kita adalah makhluk, kita tidak mahakuasa", kata Paus (AL 56).

Sakramen pernikahan -- Alat keselamatan Ilahi (Werkzeug des goettlichen Heils)

Sakramen perkawinan bukanlah suatu konvensi sosial, suatu ritus kosong atau sekadar tanda lahiriah dari suatu kewajiban", kata Fransiskus (AL 72). Sebaliknya, itu harus dipahami sebagai alat keselamatan ilahi. 

Aspek alat keselamatan ilahi tampaknya telah surut terlalu banyak. Paus kemudian menjelaskan: Bagaimanapun, kita harus lebih memikirkan tindakan ilahi dalam ritus pernikahan, karena hal itu sangat mencolok di Gereja-Gereja Timur" (AL 75). Dalam ritus Ortodoks, berkat bagi pengantin memainkan peran yang jauh lebih penting daripada dalam ritus Latin.

Situasi yang tidak sempurna

Dalam surat Apostolik AL, Paus Fransiskus juga membahas tentang situasi yang tidak sempurna," yaitu berkaitan dengan kemitraan yang tidak sesuai dengan cita-cita Katolik tentang pernikahan. Pada titik ini, Paus Fransiskus secara khusus sangat menasehati para uskup dan para imam untuk membedakan dengan baik antara berbagai situasi" (AL 79). 

Pada titik ini Paus Fransiskus mengutip pendahulunya Yohanes Paulus II, dalam surat apostoliknya tentang keluarga Familiaris consortio". Paus Yohanes Paulus II telah menyatakan apa yang disebut prinsip bertahap (Prinzip der Gradualitt)[2] sebagai ukuran penting dalam pelayanan pastoral.

Demikian selengkapnya AL 79:

"Dalam menghadapi keadaan sulit dan keluarga yang terluka, prinsip umum harus selalu diingat:" Biarlah para gembala memperhatikan bahwa, demi cinta, mereka terikat pada kebenaran, untuk membedakan dengan baik antara berbagai situasi "(Familiaris consortio, 84).

Tingkat tanggung jawab tidak sama dalam semua kasus dan mungkin ada faktor-faktor yang membatasi kemampuan untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, sementara ajaran diungkapkan dengan jelas, penilaian harus dihindari yang tidak memperhitungkan kompleksitas berbagai situasi. Hal ini diperlukan untuk memperhatikan cara orang hidup dan menderita karena kondisi mereka."

Posisi Gereja tentang aborsi

Tentang kontrasepsi, Fransiskus mengacu pada ensiklik Humanae vitae" oleh Paulus VI, yang pesannya harus ditemukan kembali. Oleh karena itu, ketika mengevaluasi metode pengendalian kelahiran, martabat orang tersebut harus dihormati" (AL 82).

Dalam paragraf berikut, Paus menegaskan posisi Gereja tentang aborsi. Nilai kehidupan yang belum lahir, anak tak berdosa yang tumbuh dalam rahim ibunya", adalah nilai dalam dirinya sendiri. 

Oleh karena itu, ia harus tidak pernah menjadi subjek aturan orang lain. Kemungkinan membuat keputusan tentang kehidupan yang belum lahir ini tidak boleh disebut dengan cara apapun hak atas tubuh sendiri." Gereja mendukung keluarga yang menerima anak-anak cacat, membesarkan mereka dan merangkul mereka dengan cinta.

Seberapa bagus, dalam dan pentingnya posisi Gereja tentang aborsi tetap juga membutuhkan kesadaran, dukungan dan kerjasama kaum perempuan. Jadi, perempuan sendiri sebenarnya mereka adalah pendukung ajaran Gereja.

Tafsiran tentang aspek cinta suami-istri

Paus Fransiskus dalam surat Apostolik AL memberikan empat aspek cinta suami-istri sebagai berikut:

1. Suami-istri memiliki semua ciri-ciri persahabatan yang baik" (AL 123). Oleh karena itu, pasangan seharusnya tidak hanya menjadi kekasih, tetapi juga sahabat seumur hidup.

2. Menikah adalah cara untuk mengungkapkan bahwa seseorang telah benar-benar meninggalkan sarang keibuannya untuk membuat ikatan kuat lainnya dan untuk mengambil tanggung jawab baru terhadap orang lain" (AL 131).

3. Paus melanjutkan dengan menjelaskan nilai tinggi dari gairah, emosi, kenikmatan dan akhirnya juga erotisme dalam cinta suami-istri. Seksualitas bukanlah sarana kepuasan atau kesenangan, karena itu adalah bahasa antarpribadi di mana yang lain dianggap serius dalam nilai-Nya yang suci dan tidak dapat diganggu gugat." (AL 151).

4. Seksualitas dan cinta erotis harus dianggap sebagai hadiah yang harus diperlakukan dengan bermartabat, tetapi juga dinikmati pada saat yang sama. Paus dengan tegas menyatakan bahwa cinta ini tidak hanya harus dijalani tanpa pamrih, tetapi kebutuhan sendiri juga harus diperhitungkan (AL 157).

Dari empat aspek di atas jelas terlihat bahwa perempuan sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari tema cinta itu sendiri. Di sana ada hubungannya dengan kekasih, sahabat, tanggung jawab, seksualitas, gairah, emosi, kenikmatan dan hadiah dari Tuhan.

Koeksistensi perempuan di tengah dunia

Paus Fransiskus dengan sangat jelas menekankan dua area dalam keluarga: Keluarga bukan hanya area prokreasi, tetapi juga penerimaan hidup yang tidak lain harus dilihat sebagai hadiah dari Tuhan.

Beberapa aspek khusus terkait perempuan yakni:

a) Perempuan memiliki kemampuan feminin yang istimewa

Pada prinsipnya peran ibu tidak bisa dianggap sepele dalam kaitannya dengan urusan pendidikan dan membesarkan anak. Anak-anak membutuhkan kehadiran ibu terutama di bulan-bulan pertama kehidupan. Hal ini tidak boleh diabaikan dalam setiap kemajuan di bidang kesetaraan profesional bagi perempuan. Karena kemampuan femininnya yang istimewa", perempuan juga memiliki kewajiban (AL 173).

b) Perempuan sebagai pembawa kehidupan manusia baru

Lebih lanjut Paus Fransiskus dengan jelas menegaskan peran perempuan (ibu):

Kenyataannya adalah bahwa perempuan [...] sebagai seorang ibu [berdiri] di hadapan laki-laki, sebagai pembawa kehidupan manusia baru yang diterima dan dikembangkan dalam dirinya dan dibawa ke dunia olehnya." Melemahnya kehadiran ibu dengan kualitas femininnya merupakan ancaman serius bagi bumi kita. (AL 173)

c) Kejeniusan feminim diperlukan bagi masyarakat

Paus Fransiskus memang tidak secara sangat detail menjelaskan tugas khusus perempuan dalam masyarakat, namun yang jelas disebutkan Paus adalah bahwa

kehebatan wanita mencakup semua hak yang muncul dari martabat kemanusiaan mereka yang tidak dapat dicabut, tetapi juga dari kejeniusan feminin mereka, yang sangat diperlukan bagi masyarakat. Kemampuan kewanitaannya yang istimewa - terutama keibuan -- memberikan tugasnya pada saat yang bersamaan, karena menjadi seorang wanita juga termasuk tugas khusus di muka bumi ini yang harus dilindungi dan dipelihara oleh masyarakat demi kebaikan semua." (AL 173).

d) Membesarkan anak-anak, mendampingi, membedakan dan mengintegrasikan kerapuhan

Paus Fransiskus dengan jelas menegaskan hal yang sangat penting ini: Anda (Ayah dan ibu) harus memikirkan hal-hal apa yang ingin Anda tunjukkan kepada anak-anak Anda," kata Paus Fransiskus. 

Tidak hanya itu, tetapi Paus memberikan juga ruang refleksi kepada perempuan dan laki-laki yang telah mengikat hubungan menjadi suami-istri: 

"Itulah mengapa tidak dapat dihindari untuk bertanya pada diri sendiri siapa yang mengurus menyediakan kesenangan dan hiburan bagi mereka (anak-anak), siapa yang melihat rumah mereka melalui layar, dan siapa yang ditinggalkan untuk membimbing anak-anak di waktu luang mereka."

Peran perempuan juga berkaitan dengan kondisi kehidupan yang tidak teratur (irregulaeren Lebensverhaeltnissen). Paus menegaskan bahwa sebaiknya mengandalkan perbedaan antara situasi dan belas kasihan, daripada mengandalkan regulasi hukum baru yang bersifat kanonik yang berlaku untuk semua kasus. 

Hal ini karena norma-norma umum tidak selalu dapat menciptakan keadilan untuk setiap kasus individu dan menggambarkan desakan tunggal pada mereka sebagai yang kecil." (AL 304).

e) Menuntun anak-anak untuk mengalami suasana doa dan terlibat di dalam Ekaristi

Bagian paling akhir yang disoroti Paus Fransiskus dalam surat Apostolik AL adalah tentang pentingnya doa dan Ekaristi. Ya, tentu orang tua dan secara khusus perempuan harus berperan aktif dalam mengajarkan nilai-nilai yang baik seperti doa dan Ekaristi. Paus Fransiskus menyebut doa dan Ekaristi sebagai dua hal yang punya nilai tinggi (AL 318). 

Menurut Paus Fransiskus, pasangan mencapai titik cinta tertinggi ketika mereka menyadari bahwa mereka bukan milik satu sama lain, tetapi bahwa setiap orang hanya memiliki Allah sebagai Tuhan (AL 320). 

Demikian beberapa poin catatan tentang bagaimana andil perempuan yang bisa diangkat ke permukaan dari surat Apostolik Amoris laetitia (AL). Tentu tulisan ini tidak lebih lengkap dari surat Apostolik itu sendiri. 

Tidak ada yang lebih istimewa dari tulisan ini selain berusaha merinci kembali gagasan-gagasan Paus Fransiskus di dalam surat Apostolik itu dengan berusaha mempertegas hubungan tema antara kegembiraan cinta dengan perempuan dan juga perkembangan zaman kita saat ini.

Perempuan tentu punya dimensi misteri yang tidak pernah selesai untuk direfleksikan kapan saja. Oleh karena itu, hidup dalam gairah spiritual Effata" barangkali menjadi langkah dan kemungkinan yang tepat untuk terus membuka kenyataan yang bisa dihubungkan dengan tema-tema pewartaan dalam konteks Gereja.

Catatan: Tulisan ini secara khusus untuk umat kristen Katolik

Salam berbagi, ino, 21.10.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun