Bergulat dengan mimpi-mimpi, namun semua itu membutuhkan yang namanya SDM, manajemen, regulasi, dan orang-orang yang bisa memberikan pendampingan dan motivasi.
Franchise atau waralaba sebetulnya masih merupakan kata asing bagi para petani di desa. Hal itu bukan berarti bahwa di desa-desa para petani tidak punya usaha dan bahkan tidak kreatif, tentu tidak. Kalau benar diselidiki, maka akan ditemukan banyak sekali petani desa yang punya mimpi agar usaha yang dimulainya berkembang menjadi sebuah franchise atau waralaba.
Tulisan ini berangkat dari cerita seorang petani desa yang sudah sekian tahun jatuh bangun bergumul dengan bisnis mandiri sayur dari hasil usahanya sendiri dengan modal sendiri.
Dialog dan cerita-cerita itu menyeret saya kepada suatu gagasan dan perspektif tentang hubungan antara kehidupan masyarakat pedesaan, para petani dan juga peluang mereka untuk memasuki pintu bisnis waralaba.
Kenyataan menunjukkan bahwa ada banyak bisnis di pedesaan, namun tidak sedikit pula jenis usaha atau bisnis itu menjadi begitu terbatas karena banyak faktor dan kendala.Â
Berikut ini ada 5 faktor yang menjadikan usaha atau bisnis kecil orang-orang di desa susah menembus ke skala yang bisa disebut bisnis waralaba atau franchise:
1. Keterbatasan sumber daya manusia (SDM)
Keterbatasan sumber daya manusia masyarakat pedesaan telah menjadi kendala abadi karena tidak pernah dicari bagaimana solusi dan usaha-usaha praktis untuk mengatasinya. Apa dan siapa yang bisa diandalkan kalau memang sumber daya manusia kebanyakan masyarakat pedesaan itu masih terbatas?
Peluang untuk merebut kembali ketertinggalan pada bagian SDM harus lebih serius diperhatikan karena sangat mungkin kendala paling mendasar bukan saja masyarakat desa, tetapi juga mungkin pemerintah desa, kecamatan, bahkan juga sampai ke pemerintahan kabupaten dan provinsi.Â
Bayangkan saja, jika tidak pernah ada gagasan dan wacana tentang bagaimana menjadi pengusaha waralaba di desa-desa, bagaimana mungkin masyarakat sederhana di desa-desa itu mengerti tentang cara-cara menjadi pengusaha waralaba.
Karena itu, tema SDM itu adalah tema umum bukan cuma masyarakat, tetapi juga instansi-instansi yang berkaitan dengan desa pun sama terbatasnya. Apakah pengusaha waralaba hanya untuk orang-orang di kota? Tentu tidak. Nah, kalau begitu, kenapa jenis usaha seperti franchise itu tidak pernah dibicarakan di desa-desa?
Kalaupun itu dibicarakan dan tidak pernah ada dukungan berkaitan dengan urusan dokumen perizinannya, maka kendala untuk meraih mimpi menjadi begitu besar dan semakin sulit. Meskipun demikian, ini hanyalah sebuah kemungkinan yang bisa saja lain, perizinan bisa saja mudah didapat, namun alangkah baik jika wawasan tentang pengusaha waralaba itu sudah mulai disosialisasikan sampai ke desa-desa dengan segala kemungkinannya.
Ya, kemungkinan berkaitan hal-hal apa saja jika orang memulai usaha waralaba seperti, lokasi atau tempat usaha, modal, perizinan, jenis usahanya apa dan lain sebagainya. Tentu tidak bisa disepelekan juga bahwa orang perlu punya keberanian untuk memulai.
Pada kenyataan yang lain, sebagian masyarakat pedesaan ternyata mereka punya SDM dari hasil pengalaman kerja di Malaysia, misalnya adanya bisa menjadi tukang bangunan, punya keterampilan untuk bengkel kayu, ternak ayam, usaha kebun sayur, usaha cabe, melon dan lain sebagainya.
Memang mereka tidak punya sertifikat khusus atau tidak punya ijazah khusus, namun dari segi pengalaman kerja, rupanya mereka juga bisa diandalkan. Namun, mereka tidak tahu bagaimana mengembangkan usaha mereka sampai pada yang namanya waralaba.
Karena itu, mimpi masyarakat pedesaan adalah mereka memperoleh ruang dan kesempatan berupa seminar atau bentuk penjelasan lainnya yang terkait, bahkan akan lebih bagus lagi jika ada pola pendampingan berkelanjutan untuk masyarakat desa.
2. Manajemen bisnis
"Mimpi kecil selalu saja ada, namun tidak tahu harus mulai dari mana?" Ini ungkapan hati yang paling sering terdengar saat ada dialog kecil dan spontan dengan orang-orang desa. Sebetulnya hal seperti kembali lagi ke SDM. Cuma terlihat di lapangan, manajemen sederhana saja sudah susah, apalagi harus bicara manajemen usaha.
Lagi-lagi pertanyaannya siapa yang salah? Ulasan ini tidak bermaksud untuk mengungkapkan kesalahan pihak-pihak tertentu, tetapi lebih merupakan sorotan kenyataan agar semua bergandeng tangan mulai berbicara dan membuat rencana dari dasar ketertinggalan.
Peluang untuk suatu perubahan sebenarnya saat ini tidak begitu sulit kalau dibandingkan dengan era tahun-tahun 1980-1990. Faktor kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sebenarnya sangat punya andil di dalamnya untuk meretas ketertinggalan.
Saat ini memang semua informasi itu sudah ada, seperti bagaimana caranya memulai usaha waralaba, ketik saja pada halaman google, maka orang akan menemukan sederetan artikel tentang tema waralaba. Atau bahkan bagaimana manajemen usaha waralaba, orang akan menemukannya di sana dengan cepat dan mudah.
Semua istilah dan segala tema yang bisa dikatakan problem dan keterbatasan di desa-desa, sebenarnya sudah merupakan problem, keterbatasan dan kesulitan masa lalu orang di tempat lain. Â Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah cuma waktu dan kemauan untuk belajar dari pengalaman orang lain.
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi saat ini, sudah memanjakan siapa saja untuk tahu dan belajar di mana saja dan kapan saja. Karena itu alasan ketertinggalan sebetulnya bukan utama, tetapi karena hal-hal praktis saja. Jika orang sudah mulai mengambil langkah awal, maka selanjutnya dia akan terus mencari tahu, bagaimana menemukan solusi yang sedang dihadapinya.
3. Tenaga motivator
Pada tahun 1990 saya mendengar pertama kali kata motivator desa. Para motivator itu adalah orang-orang lapangan yang sudah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan. Mereka sudah dibekali, kemudian pergi ke desa-desa untuk berdiskusi, mendampingi petani desa, dan bahkan lebih dari itu mereka memberikan motivasi.
Tenaga motivator itu tidak harus orang dari desa itu, tetapi terbuka orang dari luar, bahkan dari provinsi dan kota lain. Peluang untuk suatu dinamika berbagi pengalaman, wawasan dan keterampilan menjadi sangat besar.Â
Praktisnya saya membayangkan bahwa jika ada tenaga motivator yang bersedia atau ditugaskan untuk mendampingi masyarakat desa terkait bagaimana usaha waralaba, maka saya yakin akan ada pula pengusaha waralaba di desa-desa.
Siapa yang harus menyediakan tenaga motivator untuk saat ini. Saya akhirnya berpikir sangat besar kemungkinan gagasan ini terhubung dengan kementrian desa tertinggal. Apakah mungkin program yang terhubung dengan desa tertinggal itu menyediakan juga tenaga motivator desa?
Motivator desa bisa disesuaikan dengan topografi dan jenis usaha yang ada dan hidup di desa-desa. Karena itu, tenaga motivator adalah orang-orang yang sudah dipersiapkan secara khusus, misalnya dia harus punya wawasan tentang manajemen keuangan, manajemen organisasi, pengetahuan lain tentang pertanian, usaha waralaba dan lain sebagainya yang positif untuk kehidupan orang di desa-desa.
Tentu juga terlalu ideal untuk seorang tenaga motivator yang memiliki kemampuan serba bisa, namun yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk dialog secara terbuka dengan masyarakat desa. Dengan demikian masyarakat bisa dibantu juga untuk akses informasi yang tepat sesuai kebutuhan mereka.
Berkali-kali saya mendengar curhatan masyarakat desa terkait fenomena ini: Kenapa ya, saat cabe dari kebun kami mencapai puncak panen dengan hasil yang berlimpah, harga cabe tiba-tiba turun drastis? Bukan cuma terkait cabe, tetapi juga terkait hasil komoditi lainnya.
Saya masih ingat di tahun 1989 harga cengkeh tiba-tiba jatuh, bahkan pada waktu muncul pembicaraan di kalangan masyarakat sampai pada tingkat kebencian pada tanaman. Tidak heran, para petani yang punya kebun cengkeh dirasuk dengan pola pikir yang salah, hingga marah dan menebas semua cengkeh mereka.
Pola pikir dan pendirian masyarakat pedesaan seakan-akan sangat mudah dipermainkan oleh pihak-pihak pembeli yang datang dari kota. Fenomena seperti itu masih terjadi hingga sekarang ini. Cuma bedanya bahwa petani di desa tidak begitu emosional sampai menebas tanaman mereka, yang biasa terjadi adalah mereka menelantarkan tanaman yang harga sudah jatuh di pasaran.Â
Pertanyaan terkait hal ini , siapa pemain harga pasar komoditi masyarakat hingga lingkaran setan itu terus berulang dari tahun ke tahun? Anehnya, masyarakat desa tidak pernah menganalisis dan protes, tetapi berusaha menerima begitu saja.Â
Mengapa keadaan seperti itu dibiarkan terjadi atau terus terjadi? Sebetulnya karena pemerintah sendiri tidak punya kendali terhadap permainan pihak yang punya modal penguasa pasar.
Keadaan tidak terkendalikan itu terjadi karena regulasi dari pemerintah terkait penentuan harga jual beli komoditi masyarakat itu sama sekali tidak ada, sehingga pembeli begitu liar bermain harga sesuka hati mereka.
Logika pasar hingga terjadi seperti ini di mata para pembeli, "Jika komoditi masyarakat berlimpah-limpah, ya kita turunkan harga pembelian dari petani atau penjual pertama. Dengan pertimbangan kita akan menjual lagi dengan perolehan keuntungan yang sangat besar."
Dalam konteks seperti itu, sebetulnya bisnis waralaba menjadi begitu menguntungkan karena proses jual beli masuk ke dalam regulasi resmi yang dilindungi dan diakui pemerintah dan bukan liar.
Mimpi masyarakat desa sebenarnya terbentuknya suatu wadah yang mengatur dan menata pasar jual komoditi masyarakat secara resmi tanpa kompromi dan manipulasi suka-suka dari pihak pemilik modal.
5. Kegalauan hidup karena budaya tiru
Kehidupan masyarakat pedesaan sangat kuat dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat mereka masing-masing. Faktor budaya dan adat istiadat itu cukup kuat memengaruhi pola pikir dan rencana hidup untuk suatu perubahan dan masa depan.
Masyarakat pedesaan cukup sering dipengaruhi oleh budaya tiru. Artinya, jika seseorang melihat tetangganya punya usaha seperti itu, maka yang lain akan juga melakukan hal yang sama.
Dampaknya bahwa ada bisnis yang sama dengan jumlah konsumen yang sangat terbatas. Budaya seperti itu tentu bukan budaya tanding dengan dasar kreatifitas yang bisa diandalkan.Â
Masyarakat pedesaan cukup mudah meniru apa yang dilakukan oleh tetangga. Mengapa terjadi hal seperti itu? Mungkin bisa saja karena soal wawasan bisnis mereka yang terlalu sempit.Â
Budaya meniru bisnis tetangga itu sangat mungkin memacu kegalauan hidup, bahkan bisa saja menjadikan bisnis waralaba sama-sama bangkrut.Â
Fenomena dan kecenderungan seperti itu cukup sering terjadi oleh karena masyarakat di pedesaan gagal paham tentang hubungan antara apa yang dihasilkan dan berapa jumlah konsumen yang berminat pada bisnis mereka.
Singkatnya bahwa masyarakat di pedesaan belum cukup siap untuk memasuki bisnis waralaba, sebelum sekian banyak informasi penting yang menopang sumber daya manusia terpenuhi lebih dahulu.
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal ini:
1. Dasar dari semua bisnis apapun bentuk dan modelnya adalah soal sumber daya manusia. Wawasan yang komprehensif memang selalu dibutuhkan selain modal, tempat dan sumber energi lainnya.
2. Keterampilan menata, memanage kegiatan bisnis bagaimanapun tetap harus memacu pelaku bisnis untuk disiplin dan teratur dalam semua hal yang terkait di dalamnya.
3. Masyarakat pedesaan punya peluang untuk memasuki dunia bisnis franchise atau waralaba, namun untuk sampai pada bisnis seperti itu dibutuhkan juga tenaga motivator yang bisa memberikan motivasi dan pendampingan berkelanjutan untuk mendukung kesimpulan yang pertama dan kedua diatas.
4. Masyarakat pedesaan perlu mengetahui politik ekonomi pasar yang cenderung memanipulasi harga jual beli di pasar. Karena itu, sangat penting bahwa pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten perlu mendukung usaha petani dengan membuat regulasi terkait penentuan harga komoditi atau apa saja yang menjadi hak paten dari bisnis masyarakat desa.
5. Budaya tiru masyarakat sering tidak menolong masyarakat sendiri, karena itu sangat diperlukan wawasan terkait peluang dan potensi bisnis yang ada di desa.Â
Demikian beberapa ulasan terkait mimpi masyarakat desa untuk memasuki pintu bisnis waralaba atau franchise. Tulisan ini lebih merupakan hasil analisis pribadi terkait dengan kenyataan usaha-usaha atau bisnis yang ada di desa. Tentu, masih ada banyak sekali perspektif dan cara pandang terkait tantangan, peluang bisnis waralaba di desa. Hal pasti bahwa 5 hal dalam ulasan ini terhubung kepada mimpi masyarakat pedesaan menuju bisnis waralaba.Â
Salam berbagi, ino, 23.09.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H