Namun, pada saat terakhir sharing kami, saya mula-mula menyadari bahwa sangat penting pada saat itu adalah bahwa saya bisa menolong untuk mengubah pikirannya.
Ia begitu stress, sampai-sampai berbicara dengan nada dan rasa penuh keputusasaan, seakan-akan hidup ini sudah hampir berakhir semuanya bahkan terasa lebih kritis dari pesan peribahasa "hidup sudah diujung tanduk."
Waktu itu saya coba datang ke alam pikirannya dengan latar pemahaman kulturnya yang sangat dekat dengan alam spiritual. Saya tahu itu, dia seorang yang percaya pada kekuatan yang melampaui manusia.
Saya bertanya kepadanya, "apakah kamu percaya bahwa kamu akan sembuh?" Katanya terburu-buru, "Kamu gila" Saya berusaha tetap tenang dan sekali lagi bertanya, "Pernahkah kamu dengar bahwa situasi sulit yang dihadapi manusia tiba-tiba saja berubah?"
"Ya tentu, tapi pasti tidak akan terjadi pada diri saya," katanya. "Nah, justru itu yang perlu diubah. Cara pikirmu mesti diubah," kata saya sedikit ada aroma Toxic positivity.
"Cerita tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia itu benar terjadi dialami banyak orang, cuma orang tidak mau bercerita dengan terus terang saja. Orang malu bercerita tentang hal yang melampaui pikirannya, nanti orang bilang, you are crazy," demikian peneguhan kecil dari saya waktu itu.
"Ja, klar, tapi tetap saja tidak mungkin hal seperti itu terjadi pada saya," protesnya masih saja menjadi-jadi. "Lagi-lagi, sebenarnya, kamu cukup berkata mungkin dan mungkin....perubahan itu bisa saja terjadi pada diri kamu, bisa...bisa dan bisa....Tuhan itu baik." Toxic positivity saya waktu itu.
Lalu, ia bertanya, "dengan cara apa perubahan itu bisa terjadi, kanker saya bisa sembuh?" "Tunggu...tunggu, yang penting kamu harus tenang dulu, dan sudah bisa katakan "mungkin," maka saya akan memberitahu kamu caranya." Ni....Toxic positivity terussss kan?
Ia tampak memejamkan matanya, namun dengan wajah yang begitu sedih. Saya melihat air matanya jatuh beberapa tetes. Saya juga merasakan kesedihannya.
"Emilkaaaa, sekarang saya mengambilkan air putih satu gelas buat kamu, saya mau kamu sendiri bisa katakan kerinduanmu pada air ini, bahwa kamu ingin sembuh dari kanker." Kata saya dengan sangat tenang waktu itu.Â
Ia lalu menerima air itu, sambil menatap dalam-dalam air itu ia berdoa rupanya dan entah apa yang ia katakan dalam bahasa ibunya saya sendiri tidak mengerti. Lalu ia meminum air itu.