Toxic positivity yang menghibur
Dalam hati kecilku, saat ia bercerita demikian, "apa-apaan ini ?" Jantung berdebar banget lho. "Ya, aku seorang Indonesia yang adalah manusia biasa, yang punya hati, perasaan dan cinta." Ehm...ehm... itu  Toxic positivity ku yang paling menghibur.
Saya terpesona dengan mahasiswi Polandia itu. Dia selalu mengajak saya mencari teman duet pingpong atau juga bisa cari teman untuk bernyanyi dan dia bermain gitar.
Wow saat yang sangat menyenangkan. Suaranya sangat merdu, begitu halus petikan gitarnya dan beberapa keunggulannya lainnya yang secara manusiawi hampir begitu sering larut dalam Toxic positivity tanpa tahu itu sebuah manipulasi rasa.
Ya, saya hanya ingin terus dekat dan berkomunikasi dengannya bahkan sampai suka nasihat positif. Ya benar-benar sebuah Toxic positivity.
Menariknya bahwa kami sama-sama pada tahun itu belum mengenal istilah Toxic positivity. Karena bagi kami, jika ada fenomena itu, kami selalu menerimanya sebagai suatu bentuk dukungan yang indah, seakan-akan tanda perhatiannya yang khusus.
Suatu waktu Emilka menderita sakit kanker. Tanpa terus terang bercerita sakit kanker apa. Dia selalu enggan mengatakan pada saya, apa jenis kankernya.
Saya tidak mau memaksakan nya, karena terlihat dia sedang dalam dilema besar antara malu berkata jujur dan kebutuhan psikisnya untuk merasakan support dari saya.
Saya berusaha lebih tenang dari dia yang begitu sedih dan murung karena baru saja menerima vonis dokter tentang keadaannya. Â Ya, ia menderita kanker.
Saya mendengar dan terus mendengar segala curahan hatinya, tanpa banyak berkata-kata atau berusaha masuk dalam fenomena Toxic positivity.