Penyakit misterius itu benar-benar ada dan sangat berbahaya bagi siapa saja yang ingin konfrontasi dengannya. Jauhkan diri dari sesama secara fisik adalah pilihan teraman untuk saat ini.Â
2. Situasi dilematis yang terlalu sulit dihadapi sebagian besar manusia saat ini antara cinta dan menyelamatkan diri
Saya mendengar cerita tentang seseorang yang sedang dalam proses pemulihan karena menderita serangan kanker, tiba-tiba diketahui bukan cuma suaminya, tetapi juga anaknya terpapar Covid-19.
Keduanya dibawa ke rumah sakit, meskipun di sana belum tentu secepatnya ditangani oleh karena begitu banyaknya orang yang sedang menunggu perawatan di rumah sakit.Â
Saking sedihnya sang istri tidak peduli atau mati rasa kemudian berangkat juga ke rumah sakit sekedar untuk menjenguk suami dan anaknya.
Beberapa jam kemudian, badannya sudah mulai terasa dingin, seperti demam dan menggigil. Meskipun demikian, ia jadinya mati rasa karena pilihan yang dibuat dalam situasi dilematis yang ekstrim antara cinta dan menyelamatkan diri sendiri.Â
3. Generasi mati rasa lahir karena tekanan ekonomi yang luar biasaÂ
Sebagian orang tampak seperti mati rasa bukan karena mereka tidak percaya bahwa ada virus Covid-19 yang mematikan, tetapi lebih karena tekanan ekonomi yang menyeret mereka harus melakukan sesuatu di tengah kesulitan.Â
Saya masih ingat kisah di bulan Mei 2020 lalu, saat kasus baru dan angka kematian oleh serangan Covid-19 semakin meningkat, pemerintah di semua negara bagian memberlakukan aturan lockdown dan Ausgangssperre yang sama, namun seorang pemungut sampah toh tetap terlihat tenang memburu sampah-sampah hampir di setiap lorong dan jalan di kota Mainz.Â
Tampak Covid-19 tidak sedikit pun menyulut niatnya untuk berpacu dalam mendukung ekonomi keluarganya. Ya, terasa sekali bahwa ia "mati rasa" terhadap situasi yang sedang terjadi.Â
Hal seperti itu bukan cuma di Jerman, tetapi juga di hampir semua pelosok desa di Indonesia. Saya pernah mendengar kisah harus di Malang Selatan. Seluruh warga kampung tidak mau isolasi di rumah sakit hanya karena mereka mau tetap bertaruh hidup mengurus ternak dan kebun mereka, meskipun mereka tahu bahwa Covid-19 itu berbahaya.Â