Nah, kenyataan seperti inilah yang menarik untuk ditelaah. Ya, bukan lagi sebagai suatu kematian beberapa orang karena sebab tertentu yang bisa dikategorikan sebagai suatu kekerasan atau tindakan yang tidak manusiawi saja, tetapi lebih dari itu suatu kematian massal yang dialami terus menerus dalam kurun waktu tertentu, hingga manusia sendiri merasakan bahwa kematian itu sudah biasa.
Seorang teman saya mengatakan seperti ini: "Saking setiap hari dengar berita tentang kematian, jadinya seperti sudah kebal." (R. M., 7.7.2021). Kebal dengan berita tentang kematian dalam konteks ini bukan berarti kematian yang disebabkan oleh virus corona itu dianggap wajar, tetapi lebih karena tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkan diri.
Pengalaman kematian yang terus-menerus hingga menjadi biasa dengan fenomena itu bisa saja menjadi sebuah trend baru tentang lahirnya generasi "mati rasa."Â
Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang lahirnya generasi mati rasa pada situasi krisis covid19 ini:
1. Virus misterius, bisa ada di mana saja, kapan saja dan bisa serang siapa saja
Sebagian orang masih belum percaya bahwa covid-19 itu ada dan bisa mematikan, meski kematian terjadi setiap hari.Â
Kenyataan adanya anggapan bahwa Covid itu tidak ada memang sungguh-sungguh sangat menyedihkan bahkan bisa dikatakan bisa sangat menyesatkan.
Sudah tahu bahwa kematian oleh karena serangan virus korona di seluruh dunia sudah mencapai angka lebih dari 4 juta, tapi orang masih belum juga percaya.
Bagaimana cara meyakinkan orang-orang seperti itu? Bisa saja orang-orang seperti itu adalah kelompok orang yang anti teknologi dan anti media.
Kecurigaan pada berita-berita hoax begitu tinggi hingga mereka tidak percaya sampai sendiri terpapar covid. Konyol bukan? Covid memang tidak pernah dilihat kasat mata, namun virus itu benar-benar ada.Â
Langkah penting yang mungkin perlu dilakukan pemerintah bisa juga sosialisasi khusus pada orang-orang yang belum menerima kenyataan adanya covid dan bahayanya.Â