Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Melepas Rasa Cemas Bersama Kekasih Awan

13 Juni 2021   01:36 Diperbarui: 13 Juni 2021   03:30 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu bebas dari tekanan yang selama ini tidak pernah kasat mata manusia. 

Naluri meronda kota dan taman tak sanggup dibendung sekejap.

Menarik nafas legah di tengah kota tua yang simpan keindahan taman dengan aneka bunga. 

Tak sangka bagaikan mutiara indah tersimpan di gudang bangunan tua.

Posisi linear menatap taman belakang, membentuk serpihan gagasan tentang keindahan yang tidak selamanya hanya lurus dan mulus-mulus tanpa soal.

Indah itu justru karena ada kontras warna langit, bumi, taman, tumbuhan dan bangunan;

Bahkan kontras warna pakaian manusia dan juga pikiran-pikirannya.

Dari barisan miring tersingkap fakta dunia tentang yang ada tak pernah cuma hanya tegak dan benar. 

Memaafkan yang salah adalah bagian dari cerita tentang cara alam ini menerima karya manusia.

Melepas rasa resah dan cemas hingga tiada gundah gulana terjadi di sudut taman. 

Berdua terlihat saling pandang menunggu pergi dan datang kekasih awan yang bertaburan biru abu-abu tua.

Membingkai dari sudut pandang yang tidak biasa hingga tampak rasa puas.

Puas karena terlena begitu mudah melepas rasa cemas tanpa kerja keras. 

Duduk atau berdiri dan memandang dalam-dalam di taman belakang di tengah kota itu. 

Kekasih awan murah senyum dan tidak dendam.

Rindu manusia untuk lepas rasa cemas sudah sampai pada puncak kesabaran. 

Naluri dan nalar takluk tanpa peduli dan ampun, yang penting hari ini aku lepaskan rasa cemas di taman ini.

Di tengah taman kota, orang-orang lupa waspada dari incaran korona. 

Yang tidak kasat mata dan menakutkan ala korona telah disingkir ke ruang mati rasa. 

Bahaya dan dampaknya telah direlativisir sebegitu rupa, cuma untuk lepaskan rasa cemasdi kota Woerzburg pada waktu yang telah berlalu.

Hilang waspada, sayang orang-orang harus kembali terkapar tanpa sisa di sana.

Cerita timbul tenggelam korona, mesti imbang dengan sadar dan waspada.

Ia datang tanpa alarm, pergi tanpa menyesal. Ia menghajar tidak tanggung-tanggung pula. 

Ya, jika punya waktu untuk lepaskan rasa cemas, lepaskanlah dalam sadar dan waspada.

Sadar dan waspada mu bagaikan kado cinta yang tak terbayar untuk hidupmu sendiri dan orang-orang terdekatmu. 

Hidup itu lebih berarti daripada kepuasan karena sekedar melepas cemas tanpa waspada.

Salam berbagi, ino, 13.6.2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun