3. Hindari kata-kata yang menyudutkan seseorang yang berkaitan langsung dengan apa yang sedang diperjuangkannya
Terkadang orang berpikir terlalu sederhana sampai akhirnya begitu sederhana pula melupakan perhatian yang diberikan dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, tidak masuk akal seandainya seorang kepala desa mengatakan atas nama masyarakat desanya bahwa bupati tidak memerhatikan desanya.
Mengapa?Â
Pemerataan pembangunan saat ini sudah terjadi besar-besaran dengan kucuran dana yang juga sangat besar. Jadi, mustahil kalau dikatakan bahwa pemerintah daerah atau pusat tidak punya perhatian.
Penting diingat bahwa personal branding tidak boleh dicapai sebagai hasil dari menyudutkan orang lain. Oposisi itu wajar, namun tidak boleh sampai caci maki dan bully-membully.
Coba diperhatikan, dinding media sosial seperti Facebook para tokoh politik sering terlihat cuma pernyataan-pernyataan yang menyudutkan orang lain, bahkan sangat sulit di sana untuk menemukan cara-cara yang baik dalam membangun personal branding.
Orang tidak tahu bahwa komentar yang diberikannya pada dinding media sosial seperti Facebook itu ikut membentuk personal branding seseorang. Ya, personal branding di zaman milenial tidak dapat dipisahkan dari media sosial yang digunakan seseorang.
4. Orang perlu belajar cara menulis dan menyampaikan kritik yang baik
Saya akhirnya ingat kembali kata-kata ilustrasi dari Prof. M. Quraish Shihab beberapa waktu lalu dalam acara tausiahnya pada momen acara Halalbihalal yang diselenggarakan KJRI Frankfurt, Jerman.
Dikatakan bahwa "lawanlah musuh dengan cara yang baik, agar suatu saat dia bisa berubah menjadi teman yang akrab." Cara-cara yang baik itulah yang bisa menjadi kenangan terkait personal branding seseorang saat ia berbicara atau mengkritik.
Nah, untuk bisa seperti itu, tentu seseorang membutuhkan waktu untuk belajar menjadi sabar, bijak, dan tenang mempertimbangkan banyak aspek terkait, sebelum seseorang berbicara atau menulis sesuatu.