Cara membangun personal branding itu tidak terlepas dari nilai-nilai kehidupan, kejujuran, kebenaran, bahkan seseorang dituntut pula untuk memiliki tanggung jawab sosial.
Cara membangun personal branding mungkin saja berbeda-beda di setiap masa dan oleh setiap orang. Cara membangun personal branding zaman milenial yang kental dan akrab dengan tren baru, bahkan tidak terpisahkan dengan media sosial rupanya punya tantangannya sendiri.
Tulisan ini, tidak hanya menyoroti tantangan kemajuan teknologi komunikasi dalam kaitan dengan peluang generasi milenial untuk menggunakannya sebagai sarana untuk personal branding, tetapi juga menyoroti cara-cara ideal yang baik dalam membangun citra diri seseorang.
Ulasan ini mengacu pada beberapa pengalaman konkret yang terjadi di masyarakat. Bagi sebagian orang istilah personal branding mungkin terdengar baru, namun yang terjadi di masyarakat sebenarnya sering dikenal dengan istilah pencitraan, orang melakukan sesuatu agar citra dirinya dikenal.
Pencitraan yang dimaksudkan dalam konteks ulasan ini adalah seseorang yang punya peran di masyarakat, kemudian melakukan sesuatu dengan tujuan bukan terutama untuk kesejahteraan masyarakat dengan menopang nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran, tetapi berusaha sekian agar viral dan dikenal dengan kesan hebat.
Viral baginya adalah kata kunci, karena dengan viral, ia berpikir bahwa citranya menjadi luar biasa. Ada ungkapan seperti ini, biar begini tapi kami masuk TV. Masuk TV? Ya, yang dipikirkan hanya masuk TV, tetapi konsep tentang personal branding sama sekali keliru. Mengapa?
Orang lebih memikirkan wajah dan kata-kata polesannya meskipun semuanya adalah suatu kebohongan atau tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Ada peribahasa seperti ini, "Tong kosong nyaring bunyinya," atau "Air beriak tanda tak dalam".
Kalau toh seperti itu, kira-kira personal branding seperti apa yang dibangunnya? Terkenal dengan citra branding kebohongan? Branding tentang manipulasi? Branding tentang kedangkalan ilmu? Branding tentang kehilangan etika? Saya kira, harus dikatakan dengan tegas bahwa tidak demikian.
Nah, kenyataan yang sering terjadi seperti itu. Nafsu untuk membangun personal branding yang tidak diimbangi dengan wawasan moral, etika, tata krama, dan pemahaman nilai-nilai kehidupan lainnya hanya menimbulkan kehilangan personal branding.