Sederhana saja, jika keluarga, berarti saya disayangi dan mereka beri sesuatu buat saya. Kasih sayang untuk anak kecil, tidak bisa dipisahkan dari salam tempel.
Nilainya berapa, sebenarnya tidak penting, karena anak kecil tidak bisa bedakan mana yang bernilai dan tidak, tetapi bahwa "ada sesuatu" sebagai yang berharga dan bisa dipegang mereka secara langsung, itulah yang paling berarti dan lengket.
Gara-gara salam tempel, saya percaya bahwa mama Nggae dan bapa Nggae itu orang baik dan keluarga saya. Tidak heran, kalau liburan, saya minta pada bapa supaya pergi ke rumah mama Nggae.
Dari salam tempel ke nasi bungkus
Cerita tentang salam tempel sebagai pengalaman pertama pada hari Idul Fitri itu tidak pernah terpisahkan dari cerita nasi bungkus. Mama Nggae saya membagikan kami pagi-pagi untuk sarapan pagi nasi bungkus.
Wow saya masih ingat, campuran nasi kuning di dalam bungkusan daun pisang. Di dalam nasi kuning itu, ada ikan goreng bale tomat. Duh sedapnya bikin ngangenin lho.
Kenangan kecil itulah yang berulang tak terbendung saat mendengar kata Idul Fitri. Nah, melalui tulisan ini, saya ingin menitip doa kecil untuk mama Nggae di kota Ende, semoga mama Nggae tetap sehat dan memperoleh berkat Tuhan yang berlimpah-limpah.
Rasa rindu berkobar, saya ingin kembali ke rumah mama Nggae. Saya ingin bertemu dan memberi salam tempel sebagai tanda terima kasih saya padanya. Doaku untuk Mama Mima, mama Ngge yang terkasih di kota Ende.
Demikian cerita dan tulisan kecil yang terbersit dari kenangan-kenangan masa kecil tentang salam tempel. Tiga alasan mengapa salam tempel itu tetap melengket, bisa saja menjadi pesan edukasi untuk kaum ibu dan siapa saja tentang bagaimana menyapa anak-anak.
Ya, semua itu tentang tanda dan ungkapan kasih sayang yang memang nyata dan tulus dari hati. Tempelannya sungguh lengket di hati hingga bisa melahirkan coretan kenangan di Kompasiana.
Salam berbagi, ino, 10.05.2021.