Benar-benar terbantu tidak lama setelah mama Nggae mengurut dada saya. Anehnya saya tidak terlalu bersyukur karena kesembuhan itu, tetapi karena salam tempelnya itu.
Salam tempel pada waktu itu, kata ibuku bisa untuk membeli seragam sekolah. Duh senang minta ampun deh. Nah, kenangan salam tempel pada Idul Firti itu yang bagi saya sungguh membekas dan lengket.
2. Salam tempel itu adalah tanda kasih sayang
Sejak saya memperoleh salam tempel pada waktu itu, sebagai anak kecil perlahan-lahan tahu bahwa mama Nggae sayang saya. Bahkan hingga berdampak pada liburan sekolah dasar, kadang kala berlibur di rumah mama Nggae.
Entahkah di rumah kurang perhatian, rasanya tidak juga. Karena bibi saya juga sangat perhatian, ya, biasa memberikan telur rebus. Apalagi kalau sudah panggil ke rumahnya, biasanya di sana ada bubur nasi merah dan telur rebus. Istimewa banget.
Salam tempel itu yang membuat saya sadar bahwa saya adalah anak yang dikasihi bukan cuma keluarga saya sendiri, tetapi bibi dan mama Nggae juga. Tidak heran, cerita dan sebutan mama Nggae diulang-ulang entah saat ke kebun bersama ibu dan bapa atau saat ke sekolah bersama sang kakak.
Entahlah kenapa, tapi nyata bahwa cerita ulang saja tentang salam tempel itu, selalu saja ada rasa bahagia. Ya, kenangan yang indah dan tetap lengket hingga sekarang.
3. Salam tempel itu sebagai tanda ikatan kekeluargaan
Itu kenyataan bahwa seorang anak kecil tentu tidak tahu banyak tentang  hubungan kekeluargaan. Apa artinya mama Nggae, bapa Nggae tidak artinya bagi saya sebenarnya.
Namun, saya dimudahkan untuk menaruh percaya bahwa mama Nggae dan bapa Nggae itu adalah keluarga saya dan orang baik, itu hanya karena salam tempel.
Salam tempel itu lebih berarti dari suatu penjelasan panjang ibu dan bapak tentunya. Anak kecil, tidak butuh teori dan tidak paham arti ini, arti itu, atau hubungan ini dan itu.